Kamis, 11 Desember 2008

Tugas Praktik Berpidato

KUI-A, KUI-B, KUI-C

Topik: Idul Adha
Praktikan: 4 atau 5 mahasiswa pada tiap-tiap kelas yang dipilih secara acak
Waktu: 5--10 menit
(tidak boleh membaca naskah, tetapi boleh menggunakan kerangka atau pokok-pokok materi pidato)

RETORIKA

(Disarikan dari buku Retorika Modern karya Jalaluddin Rakhmat, Rosdakarya Bandung, 1999)

PENDAHULUAN
· Salah satu karunia Tuhan kepada manusia adalah kemampuan berbicara.
· Setiap gerakan besar di dunia dilakukan oleh ahli-ahli pidato.
· Kemampuan berpidato bukan sekadar mengandalkan bakat, melainkan memerlukan pengetahuan dan pelatihan secara terus-menerus.

ENAM LANGKAH PERSIAPAN BERPIDATO
1. menentukan maksud atau tujuan berpidato
2. menjajaki situasi dan latar belakang pendengar/audiens
3. memilih topik
4. mengumpulkan bahan/materi pidato
5. menyusun dan mengembangkan kerangka pidato
6. melatih diri

TUJUAN BERPIDATO
1. menyampaikan informasi (informatif)
2. mempengaruhi (persuasif)
3. menghibur (rekreatif)

JENIS-JENIS PIDATO (menurut persiapannya):
1. Impromptu (spontan)
Keuntungan:
· dapat mengungkapkan perasaan yang sebenarnya
· dapat membuat si pembicara terus berpikir
· dapat membuat suasana menjadi segar dan hidup karena apa yang diungkapkan bersifat spontan
Kerugian:
· dapat menimbulkan kesimpulan mentah karena pengetahuan tidak memadai
· dapat mengakibatkan penyampaian yang tersendat dan tidak lancar
· dapat menyebabkan demam panggung sehingga gagasan yang disampaikan “acak-acakan” dan ngawur

2. Naskah/Manuskrip
Keuntungan:
· dapat menyampaikan isi pidato secara jelas
· dapat lebih fasih berbicara
· dapat menghindari hal-hal yang ngawur dan menyimpang dari isi pidato
· dapat diperbanyak/diterbitkan
Kerugian:
· dapat mengurangi komunikasi dengan pendengar
· dapat membuat suasana menjadi kaku
Hal-hal yang dapat dilakukan:
· Gunakan gaya percakapan yang lebih informal dan langsung.
· Baca naskah berkali-kali sambil membayangkan pendengar.
· Hafalkan sekadarnya sehingga Anda dapat lebih sering melihat pendengar
· Ketik dengan jenis huruf yang mudah dibaca.

3. Memoriter/Menghafal
Keuntungan:
· dapat menyampaikan isi pidato secara jelas
· dapat lebih fasih berbicara
· dapat menghindari hal-hal yang ngawur dan menyimpang dari isi pidato
Kerugian:
· dapat mengurangi komunikasi dengan pendengar
· dapat membuat suasana menjadi kaku
· BAHAYA: lupa terhadap apa yang telah dihafalkan!
4. Ekstemporan
o Pidato disiapkan dalam bentuk garis besar (outline) sebagai pedoman untuk mengatur gagasan.
Keuntungan:
· dapat berkomunikasi langsung dengan pendengar
· dapat menyampaikan pesan lebih fleksibel
Kerugian (bagi pemula):
· dapat mengurangi kefasihan
· dapat mengakibatkan penyampaian yang tersendat dan tidak lancar

SUMBER-SUMBER TOPIK
1. Pengalaman pribadi
a. perjalanan
b. tempat yang pernah dijunjungi
c. wawancara dengan tokoh
d. peristiwa luar biasa, lucu, dll.
2. Hobi dan keterampilan
a. cara melakukan sesuatu
b. peraturan dan tata cara tentang hobi dan keterampilan
3. Pengalaman pekerjaan atau profesi
a. pekerjaan tambahan
b. profesi keluarga
4. Pelajaran sekolah atau kuliah
a. hasil penelitian
b. hal-hal yang perlu diteliti lebih lanjut
5. Pendapat pribadi
a. kritik terhadap buku, pendapat orang, dll.
b. hasil pengamatan pribadi
6. Peristiwa hangat dan pembicaraan publik
a. berita media massa
b. peristiwa di sekeliling kita
7. Masalah abadi
a. agama
b. pendidikan
c. persoalan masyarakat yang belum selesai
8. Kilasan biografi
a. biografi orang-orang terkenal
9. Kejadian khusus
a. perayaan/peringatan agama, nasional, dll.
10. Minat Khalayak
a. pekerjaan
b. hobi
c. rumah tangga
d. pengembangan diri
e. kesehatan dan penampilan
f. dll.

KRITERIA TOPIK YANG BAIK
1. Topik harus sesuai dengan latar belakang pengetahuan Anda.
2. Topik harus menarik minat Anda.
3. Topik harus sesuai dengan pengetahuan pendengar.
4. Topik harus menarik minat pendengar.
5. Topik harus jelas ruang lingkup dan pembatasannya.
6. Topik harus sesuai dengan waktu dan situasi.
7. Topik harus ditunjang dengan bahan/referensi yang memadai.

PENGEMBANGAN GAGASAN
1. penjelasan (definisi)
2. contoh
3. analogi
4. testimoni (pernyataan ahli)
5. statistik
6. perulangan

KOMPOSISI PIDATO
1. kesatuan: isi, tujuan, sifat pembicaraan
2. pertautan (koherensi)
a. ungkapan penghubung
b. paralelisme
c. sinonim

MEMILIH KATA
1. Kata-kata harus jelas
a. Gunakan kata-kata yang sederhana, lazim digunakan, dan tidak berbunga-bunga.
b. Gunakan perulangan gagasan dengan kata yang berbeda.
c. Hindari istilah teknis.
2. Kata-kata harus tepat
Contoh:
mengacuhkan
bergeming
tinggal landas
mengentaskan kemiskinan
mengejar ketinggalan
3. Kata-kata harus layak

MENGURANGI RASA CEMAS
· Siapkan bahan pidato
· Datanglah lebih awal dari jadwal yang telah ditetapkan.
· Kenalilah lingkungan tempat berpidato dan audiens terlebih dahulu.
· Lakukan pemanasan dan pelatihan yang cukup (secara tidak mencolok).
· Berdoalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

HAL-HAL YANG DILAKUKAN KETIKA AKAN MEMULAI BERPIDATO
· Rapikan pakaian dan penampilan sebelum maju berpidato.
· Ambil napas perlahan-lahan.
· Pegang dan ketuk secara perlahan mikrofon untuk memastikan bahwa mikrofon/pengeras suara sudah “on”.
· Tataplah secara sekilas audiens.
· Baca bismillah perlahan dan mulailah menyapa audiens dengan salam.

HAL-HAL YANG HARUS DIHINDARI KETIKA BERPIDATO
· Jangan bersin atau batuk di depan mikrofon. Setelah itu, ucapkanlah “maaf”.
· Jangan hanya memandang satu arah.
· Jangan pula memandang ke atas atau ke bawah.
· Jangan terlalu keras atau terlalu lemah berbicara.
· Jangan berlebihan dalam menggerakkan tangan.
· Jangan sering menggerakkan badan ke kiri/kanan atau ke depan/belakang.
· Jangan menunjukkan wajah bersedih ketika berpidato dalam suasana bergembira, dan sebaliknya.
· Jangan tergesa-gesa berbicara sehingga banyak ucapan yang “terpeleset”.
· Jangan menggunakan suara leher.
· Jangan menggaruk-garuk kepala/badan dan mempermainkan kancing baju.
· Jangan mengucapkan kata-kata asing yang tidak tepat cara pengucapannya.
· Jangan salah memenggal kata atau kalimat jika membaca naskah.
· Jangan menggunakan waktu lebih dari yang ditentukan.
· Jangan menggunakan lelucon yang berbau SARA dan saru (porno).

---Selamat Berlatih---

Minggu, 23 November 2008

PRAKTIK II PRESENTASI MAKALAH

Kamis, 27 November 2008
KUI-A
Pemakalah:
1. Nahrida
2. Rian Surenda
3. Halim Reza
4. Cahyadi
Pemandu: Hendrio
Pencatat:
1. Indra Primanto
2. Muh. Izzuddin

KUI-B
Pemakalah:
1. Aria Muharam
2. Miftanul Arifin
3. Freddy
4. Fuad Imanullah
Pemandu:
Yurisul Fadli
Pencatat:
1. Wahyu Widodo
2. Fajar Septiadi

Jumat, 28 November 2008
KUI-C
Pemakalah:
1. Anwar Fawzan
2. Parman
3. Muammar Husni
4. Muh. Mastur
Pemandu:
M. Iqbal
Pencatat:
1. Maksum
2. Ari Siswanto

MATERI PRESENTASI ILMIAH DAN BERPIDATO

BAGIAN VI
PRESENTASI ILMIAH

1. Pengertian
Presentasi ilmiah merupakan kegiatan yang lazim dilakukan dalam dunia ilmiah. Kegiatan itu berfungsi untuk menyebarkan informasi ilmiah. Karena mahasiswa merupakan intelektual yang berkewajiban menyebarkan ilmu yang dimilikinya, kemahiran untuk melakukan presentasi ilmiah merupakan suatu kebutuhan.
Agar presentasi ilmiah dapat berjalan dengan efektif, ada kiat-kiat yang perlu diterapkan, yakni (1) menarik minat dan perhatian peserta, (2) menjaga agar presentasi tetap fokus pada masalah yang dibahas, dan (3) menjaga etika ketika tampil di depan forum ilmiah.
Untuk menarik minat dan perhatian pada topik/masalah yang dibahas, seorang penyaji dapat menggunakan media yang menarik (media visual seperti gambar dengan warna yang menarik, ilustrasi, dll.), mengetahui latar belakang peserta, dan menjaga suara agar tidak monoton serta terdengar jelas oleh seluruh peserta yang berada di suatu ruangan.
Untuk menjaga agar presentasi tetap fokus pada madalah yang dibahas, penyaji harus menaati bahan yang telah disiapkan dan memberi penjelasan singkat, padat, terhadap butir-butir inti.
Untuk menjaga etika dapat dilakukan dengan cara menghindari hal-hal yang dapat merugikan (menyinggung perasaan) orang lain. Butir-butir rinci tentang etika dan tata cara yang perlu ditaati dalam forum ilmiah akan diuraikan berikut ini.

2. Tata Cara dan Etika Presentasi Ilmiah
Presentasi ilmiah akan berhasil jika penyaji menaati tata cara yang lazim. Pertama, penyaji perlu memberi informasi kepada peserta secara memadai. Informasi tersebut akan dipahami dengan baik jika peserta memperoleh bahan tertulis, baik bahan lengkap maupun bahasan presentasi powerpoint. Jika diperlukan, bahan dapat dilengkapi dengan ilustrasi yang relevan. Apabila bahan ditayangkan, harus dipastikan bahwa semua peserta dapat melihat layar dan dapat membaca tulisan yang disajikan. Kedua, penyaji menyajikan bahan dalam waktu yang tersedia. Untuk itu, penyaji perlu merencanakan penggunaan waktu dan menaati panduan yang diberikan oleh moderator. Ketiga, penyaji menaati etika yang berlaku di forum ilmiah. Hal itu karena forum ilmiah merupakan wahana bagi ilmuwan dan akademisi dari berbagai disiplin ilmu saling asah otak dan hati serta bertukar berbagai informasi akademik, baik sebagai hasil pemikiran maupun hasil penelitian. Dalam forum tersebut ada beberapa peran yang dimainkan oleh aktor yang berbeda, yakni penyaji, pemandu (moderator), notulis, peserta, dan teknisi. Semua pihak wajib melakukan tugasnya dan menjaga agar jalannya presentasi ilmiah dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan.
Etika berkaitan dengan keyakinan dan prinsip mengenai mana yang benar dan mana yang salah serta mana yang patut dan mana yang tidak patut. Satu nilai yang harus dipegang dalammenjaga etika adalah “menjaga perilaku agar tidak merugikan orang lain”. Kerugian mencakup hak atau kesempatan, kehilangan muka, dan tersinggung perasaannya. Hak dalam forum ilmiah meliputi hak berbicara, hak membela dan mempertahankan pendapatnya, serta hak untuk mendapatkan pengakuan. Kehilangan muka dapat terjadi apabila aib atau kekurangan diungkapkan secara vulgar. Sementara itu, apabila seseorang telah melakukan sesuatu yang sangat berharga, ia mempunyai hak untuk mendapatkan pengakuan. Etika dalam forum ilmiah harus dijaga agar tujuan forum dapat tercapai dengan baik.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh penyaji dalam etika adalah kejujuran. Dalam dunia ilmiah, kejujuran merupakan butir etis terpenting. Setiap orang wajib bersikap sangat terbuka dalam segala hal menyangkut informasi yang dsajikan. Jika menyajikan data, penyaji harus secara jujur menyebutkan apakah data itu hasil penelitiannya ataukah diambil dari sumber lain. Jika diambil dari sumber lain, harus disebutkan secara lengkap sesuai dengan kelaziman dunia ilmiah.
Adapun etika yang harus dijaga oleh peserta antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, setiap peserta harus jujur pada diri sendiri. Artinya, dia akan bertanya jika memang tidak tahu, akan mencari klarifikasi apabila masih bingung atau belum yakin, akan mengecek apakah pemahamannya sudah benar ataukah belum, dsb. Selain itu, setiap peserta wajib menghargai pendapat/gagasan orang lain dan hal ini mensyaratkan bahwa dia wajib menyimak apabila ada orang yang berbicara (atau bertanya). Misalnya, ketika orang lain telah mengusulkan gagasan, dia tidak akan berbicara seolah-olah dialah pengusul pertama gagasan tersebut. Ketika pertanyaan telah diajukan oleh peserta lain, dia tidak akan mengulangi pertanyaan itu. Ketika peserta lain telah menyatakan sesuatu dan dia menyetujuinya, dia dapat mengungkapkan dukungannya.
Terkait dengan perilaku bertanya untuk memperoleh klarifikasi atau informasi, satu kewajiban penanya adalah menyimak jawaban dari penyaji. Akan lebih bagus jika penanya menunjukkan apresiasi positif terhadap jawaban yang telah diberikan. Apabila dengan terpaksa penanya meninggalkan ruangan sebelum jawaban diberikan, dia wajib meminta maaf dan meminta izin untuk meninggalkan ruangan.
Jalannya forum ilmiah banyak ditentukan oleh moderator sebagai pemandu. Etika yang harus dijaganya adalah bahwa dia harus adil. Artinya, semua peserta sedapat-dapatnya memperoleh kesempatan yang relatif sama dalam berpartisipasi aktif selama forum berlangsung. Keseimbangan tempat duduk peserta dan kesetaraan gender harus benar-benar dijaga. Demikian juga keseimbangan dalam hal waktu atau jumlah pertanyaan yang boleh diajukan oleh peserta.
Selain adil, seorang moderator juga harus menaati jadwal atau waktu yang telah ditentukan. Pertama, moderator seyogianya tidak terlalu banyak mengambil waktu untuk berkomentar yang tidak fungsional. Kedua, moderator harus mengatur waktu yang digunakan oleh semua pihak, baik penyaji maupun peserta. Oleh sebab itu, moderator harus punya keberanian untuk menginterupsi dengan santun pembicaran seseorang agar taat waktu.
Semua hal yang terungkap selama forum, baik inti uraian penyaji, pertanyaan, maupun jawaban perlu dicatat secara rapi oleh notulis. Hasil catatan yang telah ditata ringkas sebaiknya dicetak dan dibagikan minimal kepada semua orang yang terlibat dalam forum tersebut. Hal ini memberi kesempatan bagi pemilik gagasan/konsep untuk meluruskannya jika ada hal-hal yang kurang tepat.
Teknisi wajib memastikan bahwa peralatan teknologi yang digunakan bekerja dengan baik. Dia harus melakukan cek terakhir sebelum forum dimulai dan secara teratur mengontrol jalannya persidangan dari segi teknologi. Apabila terjadi sesuatu pada teknologi, dia harus secara cepat bertindak menyelamatkan jalannya kegiatan.

3. Menyiapkan Bahan Presentasi Ilmiah dengan Multimedia
Dalam era teknologi informasi, presentasi ilmiah dengan memakai multimedia sudah menjadi kebutuhan karena beberapa alasan. Pertama, presentasi akan menjadi menarik karena penyaji dapat membuat manuver dalam memvariasi teknik penyajian bahan, termasuk melalui animasi. Kedua, penyaji dapat menghemat waktu karena dapat mengoreksi bahan sewaktu-waktu diperlukan. Ketiga, penyaji dapat memberikan penekanan pada butir permasalahan yang dikehendaki secara menarik. Keempat, penyaji sangat dimudahkan karena membawa bahan dalam bentuk flashdisc. Kelima, bahan presentasi dapat sangat ringkas sehingga membantu peserta menangkap esensi bahan yang dibahas. Keenam peserta dapat langsung mengopi file presentasi yang diperlukan.
Agar manfaat multimedia dapat dinikmati, presentasi multimedia perlu disiapkan dengan baik. Dalam menyiapkan presentasi multimedia, langkah-langkah yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut.
1) Tentukan butir-butir terpenting bahan yang dibahas. Penyebutan butir hendaknya tidak boleh terlalu singkat, tetapi juga tidak boleh terlalu elabratif karena elaborasi akan dilakukan secara lisan oleh penyaji.
2) Atur butri-butir tersebut agar alur penyajian runtut dan runut (koheren dan kohesif).
3) Kerangka pikir perlu diungkapkan/disajikan dalam diagram atau bagan alir untuk menunjukkan alur penalarannya.
4) Tuliskan semuanya dalam bingkai power point dengan ukuran huruf atau gambar yang memadai.
5) Pilih rancangan slide yang cocok (ingat, kontras warna dan animasi sangat penting. Namun, jangan sampai bahwa terjadi dekorasi lebih menarik daripada butir bahasan).
6) Uji coba tayang untuk memastikan bahwa semua bahan yang disajikan dalam slide dapat terbaca oleh peserta dalam ruangan yang tersedia.
7) Cetak bahan dalam slide tersebut untuk digunakan sebagai pegangan dalam penyajian.

4. Melaksanakan Presentasi Ilmiah
Presentasi ilmiah pada dasarnya adalah mengomunikasikan bahan ilmiah kepada peserta forum ilmiah. Oleh karena itu, dalam presentasi ilmiah berlaku prinsip-prinsip komunikasi. Beberapa prinsip komunikasi berikut dapat dipertimbangkan.

1) Mengurangi gangguan komunikasi secara antisipatif.
a. Memastikan kecukupan pencahayaan dan ruang gerak.
b. Memperhatikan tingkat kapasitas peserta ketika memilih bahasa dan media.
c. Menghindari kemungkinan multitafsir ungkapan yang dipilih.
d. Berpikir positif tentang peserta.
e. Membuat peserta dihormati dan dihargai.
f. Mempertimbangkan budaya peserta.
g. Bersikap terbuka terhadap perbedaan sikap dan pendapat orang lain.
h. Memastikan bahwa pakaian yang akan dipakai tepat pilihan dari segi situasi formal dan budaya setempat.

2) Memaksimalkan efektivitas dalam proses presentasi.
a. Memastikan bahwa suaranya dapat didengar oleh semua peserta.
b. Memastikan bahwa penyaji dapat melihat semua peserta.
c. Menjadi penyimak/pendengar yang baik jika ada peserta yang bertanya.
d. Memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya.
e. Mendorong peserta untuk aktif terlibat.
f. Menggunakan media yang menarik dan tepat guna.



BAGIAN VII
BERPIDATO

1. Pengantar
Sebagai insan terpelajar, mahasiswa dituntut memiliki kinerja yang memuaskan dalam semua aspek kehidupan, baik di kampus maupun di masyarakat. Apalagi, setelah menyandang gelar sarjana, tuntutan itu menjadi makin kuat. Oleh karena itu, mahasiswa (calon sarjana) wajib berusaha keras agar secara bertahap tuntutan itu dapat dipenuhinya. Selain mampu menulis beragam karya ilmiah dan mempresentasikannya dengan baik, mahasiswa juga dituntut mampu berpidato (apabila diperlukan). Seseorang sering merasa gagap jika diminta secara mendadak untuk menyampaikan suatu pidato. Hal ini mengindikasikan bahwa berpidato membutuhkan kesiapan mental dan teknik berpidato yang memadai. Untuk itu, pengembangan kemampuan berpidato perlu dilakukan agar mahasiswa dapat menunjukkan kualitasnya seagai insan terpelajar.

2. Pengertian dan Tujuan Berpidato
Berpidato merupakan salah satu wujud kegiatan berbahasa lisan. Oleh karena itu, berpidato mementingkan ekspresi gagasan dan penalaran dengan menggunakan bahasa lisan yang didukung oleh aspek-aspek nonkebahasaan (ekspresi wajah, kontak pandang, gerak tangan, dll.). Dengan demikian, berpidato adalah kegiatan menyampaikan gagasan secara lisan dengan menggunakan penalaran yang tepat serta memanfaatkan aspek-aspek non-kebahasaan yang dapat mendukung efisiensi dan efektivitas pengungkapan gagasan kepada orang banyak dalam suatu acara tertentu. Sementara itu, ada tiga tujuan penyajian suatu pidato, yaitu (1) menyampaikan informasi (informatif), (2) meyakinkan dan mempengaruhi sikap pendengar (persuasif), dan (3) menghibur pendengar (rekreatif).

3. Kriteria Pidato yang Baik
Setiap orang yang berpidato pasti berusaha dan berharap agar pidato yang disampaikan dinilai oleh pendengarnya sebagai pidato yang baik. Pidato yang baik ditandai oleh kriteria (1) isinya sesuai dengan kegiatan yang sedang berlangsung, (2) isinya menggugah dan memiliki manfaat bagi pendengar, (3) isinya tidak menimbulkan pertentangan SARA, (4) isinya jelas, benar, objektif, (5) bahasa yang digunakan mudah dipahami, dan (6) disampaikan secara santun, rendah hati, dan bersahabat.

4. Metode Berpidato
Ada empat jenis metode berpidato, yakni (1) serta-merta (impromptu): tidak direncanakan, untuk keperluan atau kebutuhan sesaat, (2) hafalan: direncanakan, teks pidato dipersiapkan sebelumnya, kemudian dihafal kata demi kata, (3) berdasarkan naskah: dipersiapkan, biasanya digunakan pada pertemuan resmi atau dalam media elektronik dan media cetak, dan (4) tanpa naskah (ekstemporan): direncanakan, sebelumnya telah dipersiapkan kerangka pidato.

5. Tata Cara dan Etika Berpidato
Tata cara berpidato merujuk pada langkah-langkah dan urutan untuk memulai, mengembangkan, dan mengakhiri pidato. Sementara itu, etika berpidato merujuk pada nilai-nilai kepatutan yang perlu diperhatikan dan dijunjung tinggi ketika seseorang berpidato. Langkah-langkah dan urutan berpidato secara umum diawali dengan pembukaan, sajian isi, dan penutup. Pembukaan biasanya berisi sapaan kepada pihak-pihak yang diundang atau yang hadir dalam suatu acara. Selain itu, dalam pembukaan juga diucapkan rasa syukur kepada Allah atas nikmat dan karunia-Nya. Selanjutnya, sajian isi merupakan hasil penjabaran gagasan pokok yang akan disampaikan dalam pidato. Sebagai hasil penjabaran gagasan pokok, sajian isi perlu dirinci sesuai dengan waktu yang disediakan. Adapun penutup pidato berisi penegasan kembali gagasan pokok yang telah dipaparkan dan sajian isi. Selain itu, penutup juga berisi harapan dan ucapan terima kasih atas partisipasi semua pihak dalam acara yang sedang berlangsung.
Etika berpidato akan menjadi pegangan bagi siapa saja yang akan berpidato. Nilai-nilai apa saja yang patut diperhatikan ketika berpidato? Ketika berpidato, janganlah menyinggung perasaan orang lain. Sebaliknya, berupaya menghargai dan membangun optimisme bagi pendengarnya. Selain itu, keterbukaan, kejujuran, empati, dan persahabatan perlu diusahakan dalam berpidato.

5. Menulis Naskah Pidato
Menulis naskah pidato perlu dilakukan apabila kegiatan pidato yang akan dilakukan memang telah dipersiapkan sebelumnya. Akan tetapi, jika kegiatan pidato itu dilakukan secara spontan, tentu kita tidak perlu menulis naskah pidato.
Menulis naskah pidato pada hakikatnya adalah menuangkan gagasan ke dalam bentuk bahasa tulis yang siap dilisankan lewat kegiatan berpidato. Pilihan kosa kata, kalimat, dan paragraf dalam menulis naskah pidato sesungguhnya tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan kegiatan menulis untuk menghasilkan naskah yang lain. Situasi resmi atau kurang resmi akan menentukan pilihan kosa kata dalam menulis naskah pidato. Dengan demikian, meskipun sebagai bahasa tulis, naskah pidato itu merupakan bahasa tulis yang akan dilisankan sehingga konteks kelisanan perlu diperhatikan.

6. Menyunting Naskah Pidato
Seperti halnya naskah makalah atau artikel, naskah pidato pun perlu disunting, baik isi, bahasa, maupun penalarannya. Isi naskah pidato perlu dicermati kembali: apakah naskah itu telah sesuai dengan tujuan pidato, calon pendengar, dan kegiatan yang digelar? Selain itu, isinya juga harus dipastikan: apakah benar, representatif, dan mengandung informasi yang relevan dengan konteks pidato? Sementara itu, penyuntingan terhadap bahasa diarahkan pada pilihan kosa kata, kalimat, dan paragraf. Ketepatan pilihan kosa kata, kalimat, dan satuan-satuan gagasan dalam paragraf menjadi perhatian utama dalam kegiatan penyuntingan ini. Penalaran dalam naskah pidato juga perlu disunting untuk memastikan apakah isi dalam naskah pidato telah dikembangkan dengan menggunakan penalaran yang tepat, misalnya dengan pola induktif, deduktif, atau campuran.

7. Menyempurnakan Naskah Pidato Berdasarkan Suntingan
Menyempurnakan naskah pidato setelah disunting, baik oleh penulis sendiri maupun oleh orang lain, perlu dilakukan. Penyempurnaan itu diarahkan kepada aspek isi, bahasa, dan penalarannya sebagaimana yang telah disunting di atas. Penyempurnaan aspek bahasa dilakukan dengan mengganti kosakata yang lebih tepat dan menyempurnakan kalimat dengan memperbaiki struktur dan gagasannya. Sementara itu, penyempurnaan paragraf dilakukan dengan memperbaiki koherensi dan kohesi paragraf. Untuk itu, penambahan kaliamt, penyempurnaan kalimat, dan penghilangan kalimat perlu dilakukan.

8. Menyampaikan Pidato
Menyampaikan pidato berarti melisankan naskah pidato yang telah disiapkan. Akan tetapi, menyampaikan pidato bukan sekadar membacakan naskah pidato di depan hadirin, melainkan juga perlu menghidupkan dan menghangatkan suasana dan menciptakan interaksi yang hangat dengan audiens. Untuk itu, seseorang yang akan menyampaikan pidato harus mampu menganalisis situasi dan memanfaatkan hasil analisisnya itu untuk menghidupkan suasana dalam pidato yang akan dilakukan. Apabila pidato yang disampaikan bukan atas nama orang lain (bukan membacakan naskah pidato atasan atau orang lain), kita masih dapat melakukan penambahan-penambahan sepanjang waktu yang disediakan memadai. Yang terpenting, penambahan itu memperkaya isi pidato, dapat menghangatkan suasana, dan dapat memperjelas isi dalam naskah pidato.
Pada umumnya dalam menyajikan pidato, ada enam langkah yang perlu diperhatikan oleh orang yang berpidato, yaitu (1) menentukan maksud pidato, (2) menjajaki situasi dan latar belakang pendengar, (3) memilih topik (jika diperlukan), (4) mengumpulkan bahan atau materi pidato, (5) menyusun dan mengembangkan kerangka pidato, dan (6) melatih diri secara oral sebelum menyajikan pidato.
Keberhasilan sebuah pidato banyak bergantung pada penguasaan tempo, dinamik, dan warna suara. Tempo dapat diartikan cepat lambatnya pengucapan. Dalam arti arti, tidak berbicara terlalu cepat atau sebaliknya. Dinamik berkaitan dengan keras lembutnya suara. Artinya, suara tidak datar dan perlu diupayakan ada penekanan terhadap suatu kata atau kalimat tertentu. Warna suara adalah kaitan antara kata yang diucapkan dengan suasana, misalnya suasana gembira, sendu, sedih, atau khidmat, sesuai dengan tujuan mata acara yang ditetapkan. Jangan sampai terjadi suasana khidmat menggunakan warna suara dengan suasana gembira atau sebaliknya.
Selain kalimat yang digunakan sesuai dengan kaidah yang berlaku, vokal dan konsonan untuk setiap kata hendaklah diucapkan secara tepat dan wajar serta dapat didengar dengan jelas oleh khalayak sasaran. Dalam hal ini, perlu dihindari agar kata tidak sampai terlesap (hilang), ditambah, atau diubah satu huruf (vokal atau konsonan). Berikut beberapa contoh yang perlu diperhatikan pengucapannya.
ucapkan [ucapken]
positif [positip]
generasi [jenerasi]
instansi [intansi]
frustrasi jangan diucapkan [frustasi]
negosiasi [negoisasi]
balans [balan]
konteks [kontek]
Indonesia [Indonesa]


----- boeditama@yahoo.co.id -----

Kamis, 13 November 2008

PRAKTIK PRESENTASI MAKALAH

KUI-A
Hari, tanggal: Kamis, 20 November 2008
Pemakalah: 1. Yunita Miftakhul Ustantina (makalah Filsafat Umum berjudul Feminisme)
2. Ajeng Prita Hardiyati (Filsafat Islam Strukturalisme)
3. Misbahul Jannah
Moderator: Muh. Izzuddin
Pencatat : 1. M. Abda'i Ratomi
2. Achmad Nurdany

KUI-B
Hari, tanggal: Kamis, 20 November 2008
Pemakalah: 1. Aria Muharam
2. Miftanul Arifin
3. Freddy Ardianto
Moderator: Nidya Alvina
Pencatat : 1. Atika Fatmawati
2. Septiana P.Y.

KUI-C
Hari, tanggal: Jumat, 21 November 2008
Pemakalah: 1. Fuad Hasyim
2. Tisal Sentosa Lenggana
3. Nurul Karimah
Moderator: Ririn Marlina
Pencatat : 1. Anwar Fawzan
2. Muammar Husni Sahab

Senin, 10 November 2008

SEJARAH, KEDUDUKAN, DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

I. Sejarah Bahasa Indonesia
Perkembangan bahasa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari bahasa asalnya atau akar bahasa Indonesia, yakni bahasa Melayu. Oleh karena itu, ketika kita membicarakan bahasa Indonesia, hal yang berkaitan dengan bahasa Melayu menjadi penting untuk dibicarakan.
Pada tahun 1924 Dr. G.F. Pijper, pakar bahasa dari Belanda, menyatakan bahwa bahasa Melayu tampaknya “ditakdirkan” akan menjadi bahasa kebudayaan Indonesia (Usman, 1970:89). Baik dilihat dari sejarahnya, susunannya, maupun dari segi bentuk kalimatnya, bahasa Melayu sangat cocok untuk dijadikan sebagai bahasa kebudayaan di seluruh kepulauan Nusantara.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sejak kapan bahasa Melayu mulai digunakan sebagai alat komunikasi? Menurut Usman (1975:5), bahasa Melayu digunakan sebagai alat komunikasi sejak nenek moyang kita pada abad ke-9 S.M. menginjakkan kaki di salah satu pulau-pulau besar yang lebih dekat ke pantai Asia, yaitu Sumatra atau Kalimantan. Berbeda dengan pendapat Usman, Halim—sebagaimana dikutip oleh Arifin (1995:3)—menyatakan bahwa bahasa Melayu, dalam bentuk bahasa Melayu kuna, baru digunakan sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya sekitar abad ke-7 M. Bukti yang dikemukakan oleh Halim adalah ditemukannya berbagai batu tertulis (prasasti), misalnya Prasasti Kedukan Bukit di Palembang (tahun 683), Prasasti Talang Tuo di Palembang (tahun 684), Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat (tahun 686), dan Prasasti Karang Brahi di antara Jambi dan Sungai Musi (tahun 688). Berbagai prasasti tersebut bertulis Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa Melayu kuna. Selain ditemukan di Pulau Sumatra, beberapa prasasti lain yang menggunakan bahasa Melayu kuna juga ditemukan di Pulau Jawa, misalnya Prasasti Gandasuli (tahun 832) di Jawa Tengah dan Prasasti Bogor (tahun 942) di Bogor, Jawa Barat. Penemuan berbagai prasasti di Pulau Jawa itu membuktikan pula bahwa bahasa Melayu (kuna) tidak saja digunakan sebagai alat komunikasi di Pulau Sumatra, tetapi juga di Pulau Jawa.
Adanya berbagai petunjuk tersebut dapat dinyatakan diperkirakan pula bahwa pada zaman Sriwijaya bahasa Melayu telah digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain sebagai berikut.
1. Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa kebudayaan, yakni sebagai bahasa pada kitab-kitab yang berisi aturan bermasyarakat dan dipakai dalam karya sastra.
2. Bahasa Melayu digunakan sebagai alat komunikasi atau bahasa perhubungan luas (lingua franca), baik antarsuku di kepulauan Nusantara maupun dengan bangsa asing.
3. Bahasa Melayu menjadi bahasa perniagaan, terutama di sepanjang pantai.
4. Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa resmi kerajaan Sriwijaya.
Berkaitan dengan butir 2, bahasa Melayu dapat menjadi bahasa perhubungan luas (lingua franca) karena, menurut Usman (1970:23), lebih sederhana dan lebih demokratis jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain di Nusantara. Di samping itu, letak geografis Melayu (kepulauan-kepulauan yang penduduknya menggunakan bahasa Melayu) sangat strategis sebagai pusat lalu lintas perdagangan dan kebudayaan.
Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan peristiwa yang sangat penting, antara lain, dalam kaitannya dengan pemakaian bahasa Melayu dalam kehidupan bangsa Indonesia. Putusan atau ikrar yang dibacakan pada peristiwa tersebut—yang sejak tahun 1878 selalu diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda dan sekaligus dijadikan sebagai Hari Pemuda—antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Jika dicermati, putusan Kongres Pemuda tersebut berisi tiga butir kebulatan tekad yang saling berkaitan. Butir pertama adalah pengakuan terhadap tanah air yang satu dengan ribuan pulau yang dihubungkan oleh laut sebagai satu kesatuan. Butir kedua adalah pengakuan bahwa manusia Indonesia dengan berbagai suku yang menempati tanah air Indonesia merupakan satu kesatuan yang disebut dengan bangsa Indonesia. Butir ketiga adalah pernyataan kebulatan tekad dari bangsa yang satu yang menempati tanah air yang satu, Indonesia, untuk menjunjung bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia. Makna yang dikandung dalam pernyataan tersebut adalah bukan pengakuan “berbahasa satu” sehingga keberadaan bahasa daerah lain masih diakui yang kedudukannya berada di bawah bahasa Indonesia. Dengan adanya ikrar tersebut, resmilah bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang kedudukannya sebagai bahasa nasional. Pada tanggal 18 Agustus 1945, bahasa Indonesia secara konstitusional—seperti yang tercantum dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36—dikukuhkan sebagai bahasa negara.
Pertanyaan yang menarik, mengapa bahasa Melayu pada tahun 1928 tersebut dijadikan sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional? Mengapa bukan bahasa Jawa yang jumlah penuturnya paling banyak? Mengapa bukan pula bahasa Sunda yang secara geografis lebih dekat pusat pemerintahan?
Bahasa Melayu dipilih oleh para pemuda pada Kongres Pemuda untuk dijadikan sebagai bahasa persatuan—bahasa Indonesia—karena dianggap telah memenuhi beberapa kriteria yang bersifat objektif, yang antara lain meliputi jumlah penutur, luas persebaran, dan peranannya di bidang ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya. Ketiga kriteria tersebut tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan atau saling mendukung.
Pertama, jika hanya diukur dari jumlah penutur “asli”, penutur bahasa Melayu tidak sebanyak penutur bahasa Jawa. Namun, jika jumlah penutur “asli” bahasa Melayu ditambah dengan penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa kedua, jumlah penutur bahasa Melayu menduduki peringkat pertama. Kedua, dalam hal luas persebaran, bahasa Melayu menduduki urutan terdepan, yang secara implisit tampak dari penuturnya yang bukan hanya penutur asli (sebagai bahasa kedua). Sebagai masyarakat maritim dan pedagang, bangsa Melayu banyak melakukan perniagaan dan pelayaran ke berbagai pulau di Nusantara. Konsekuensi logisnya, bahasa mereka pun (bahasa Melayu) dipelajari pula oleh suku bangsa lain. Dengan demikian, karena bahasa Melayu menjadi bahasa perhubungan luas (lingua franca) yang digunakan dalam perniagaan, bahasa Melayu tersebar hampir di seluruh kepulauan Nusantara, terutama di daerah-daerah pantai. Ketiga, masih berkaitan dengan alasan atau kriteria pertama dan kedua, bahasa Melayu juga memiliki peranan yang besar sebagai sarana pengungkap ilmu, budaya, dan sastra. Di samping berniaga, bangsa Melayu juga menyebarkan agama yang dianutnya (Islam). Persebaran agama itu diikuti pula oleh persebaran kepustakaan atau ilmu tentang Islam ke dalam kepustakaan budaya yang dikunjunginya. Misalnya, kepustakaan Islam kejawen sangat dipengaruhi oleh kepustakaan Melayu pada masa Sultan Iskandar Muda dari Pasai.
Di samping ketiga kriteria di atas, terdapat sebuah alasan politis dan sebuah alasan praktis bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa nasional. Alasan politisnya adalah bahasa Melayu bersifat demokratis, tidak mengenal tingkatan berbahasa (tingkat tutur), seperti yang terdapat dalam bahasa Jawa. Dengan sifatnya yang demokratis tersebut sangat cocok digunakan sebagai bahasa “perjuangan”. Karena itu pula, para tokoh pergerakan dari Jawa—terutama yang tergabung dalam Syarikat Islam yang pernah menganjurkan penghapusan ragam krama dalam bahasa Jawa—sangat mendukung dikukuhkannya bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Adapun alasan praktisnya adalah karena bahasa Melayu lebih mudah dipelajari, sistem tata bahasanya lebih sederhana, dan tidak mengenal ragam halus (krama) dan kasar (ngoko) sehingga mempunyai kesanggupan pula sebagai bahasa iptek.
Dengan adanya beberapa alasan tersebut, bahasa Melayu memiliki potensi yang kuat untuk mengikat atau mempersatukan antarsuku yang berada di Nusantara yang memiliki beratus-ratus bahasa daerah. Dalam kenyataannya, berbagai suku di Indonesia tersebut menerima secara suka rela bahasa Melayu dikukuhkan sebagai bahasa bahasa persatuan dan bahasa nasional demi kepentingan pergerakan nasional.

2. Kedudukan Bahasa Indonesia
Pada butir ketiga ikrar Sumpah Pemuda dinyatakan bahwa Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Kata menjunjung mempunyai arti ‘membawa di atas kepala’. Hal itu menunjukkan, seperti telah disinggung di depan, bahwa bahasa Indonesia mempunyai kedudukan di atas bahasa-bahasa daerah. Dengan demikian, Sumpah Pemuda telah menempatkan bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional yang menjadi lambang kebulatan semangat kebangsaan Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara legal konstitusional dikukuhkan sebagai bahasa negara, seperti yang tercantum dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36, yang berbunyi “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Dasar hukum itu memberikan landasan yang kuat dan resmi bagi pemakaian bahasa Indonesia, bukan saja sebagai bahasa nasional, melainkan juga sebagai bahasa resmi kenegaraan.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, bahasa Indonesia mempunyai fungsi yang sangat mendasar dalam konteks berbangsa dan bernegara. Berikut dipaparkan berbagai fungsi yang disandang oleh bahasa Indonesia sesuai dengan kedudukannya.

3. Fungsi Bahasa Indonesia
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia mempunyai fungsi sebagai berikut.
1. Sebagai lambang kebanggaan nasional. Artinya, bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari kebangsaan kita. Dengan bahasa itu bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang dijadikan sebagai pegangan hidup. Atas dasar itu pula bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan untuk memupuk rasa kebanggaan bagi pemakainya.
2. Sebagai lambang jati diri (identitas) nasional. Artinya, bahasa Indonesia dijunjung sejajar dengan bendera dan lambang negara Indonesia. Di dalam melaksanakan fungsi itu, bahasa Indonesia harus mempunyai identitas sendiri sehingga bahasa itu serasi dengan lambang kebangsaan yang lain. Hal itu dapat dicapai apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkan bahasa Indonesia.
3. Sebagai alat pemersatu bangsa. Artinya, dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia yang berbeda latar belakang sosial budaya, suku, agama, dan bahasanya, dapat dipersatukan ke dalam satu kebangsaan Indonesia tanpa harus meninggalkan identitas kesukuan, seperti nilai-nilai sosial budaya lokal dan bahasa daerah masing-masing suku bangsa.
4. Sebagai alat perhubungan antarwarga, antarbudaya, dan antardaerah. Artinya, bahasa Indonesia merupakan sarana komunikasi yang tepat untuk menghubungkan suku-suku yang berbeda bahasa daerahnya.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki fungsi sebagai berikut.
1. Sebagai bahasa resmi kenegaraan atau pemerintahan. Oleh karena itu, dalam situasi formal kenegaraan (upacara kenegaraan, kunjungan kenegaraan, atau sidang kenegaraan), mutlak digunakan bahasa Indonesia.
2. Sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan. Dengan demikian, bahasa Indonesia secara resmi digunakan dari SD hingga perguruan tinggi. Bagi lembaga pendidikan khusus bahasa asing diperkenankan menggunakan pengantar berbahasa asing tersebut. Demikian pula bagi SD kelas 1 sampai dengan kelas tiga di wilayah yang masih kuat pemakai bahasa daerahnya diperkenankan pula untuk menggunakan pengantar berbahasa daerah.
3. Sebagai bahasa resmi dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan.
4. Sebagai bahasa resmi di dalam pembangunan kebudayaan serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sesuai dengan itu, bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan dilakukannya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional sehingga dapat memiliki ciri-ciri atau identitas sendiri.

Minggu, 09 November 2008

Silabus Bahasa Indonesia/KUI Fak. Syariah

Mata Kuliah : Bahasa Indonesia
Program Studi : Keuangan Islam
Fakultas : Syari’ah
Semester : 1
Bobot : 2 SKS
Standar Kompetensi : Mahasiswa mampu mengungkapkan pikiran dan gagasan dalam ragam tulis ataupun lisan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pengampu : Drs. Imam Budi Utomo, M.Hum.

(1)
Kompetensi Dasar Mahasiswa memahami sejarah, kedudukan, dan fungsi bahasa Indonesia
Materi Pokok Sejarah, kedudukan, dan fungsi bahasa Indonesia
Metode Pembelajaran Ceramah, diskusi, tanya jawab
Indikator Mahasiswa mampu menunjukkan pengetahuan yang memadai tentang sejarah, kedudukan, dan fungsi bahasa Indonesia serta menunjukkan kebanggaan mereka terhadap bahasa Indonesia
Alokasi Waktu 90 menit

(2)
Mahasiswa mema-hami berbagai ragam bahasa Indonesia
a. Ragam lisan dan ciri-cirinya
b. Ragam tulis dan ciri-cirinya
c. Ragam bahasa berdasarkan penutur, pemakaian, tingkat pendidikan, dll.
d. Karakteristik bahasa Indonesia ragam ilmiah
Ceramah, diskusi, tanya jawab
Mahasiswa dapat menjelaskan dan membedakan ragam bahasa beserta ciri-cirinya, khususnya ragam ilmiah

(3)
Mahasiswa memahami membaca kritis untuk menulis
a. Membaca dan jenis-jenisnya
b. Membaca kritis ilmiah
c. Membaca kritis tulisan populer
d. Membaca kritis buku ilmiah
e. Mengakses dan memanfaatkan informasi
Ceramah, diskusi, praktik
Mahasiswa mampu membaca kritis berbagai ragam wacana untuk keperluan menulis ilmiah.
180 menit

(4)
Mahasiswa memahami untuk menulis akademik
a. Tulisan akademik dan jenis-jenisnya
b. kriteria karya tulis akademik
c. Langkah-langkah penulisan karya tulis akademik
d. Menulis karya tulis akademik
e. Menyunting karya tulis akademik
f. Memperbaiki karya tulis akademik berdasarkan suntingan
Ceramah, praktik
Mahasiswa mampu menerap-kan kriteria penulisan karya ilmiah dalam menyusun dan menyunting berbagai bentuk karya ilmiah (makalah, artikel, dan laporan)
180 menit

(5)
Mahasiswa memahami untuk menulis proposal
a. Jenis-jenis proposal
b. Kelengkapan proposal
c. Langkah-langkah penulisan proposal
d. Menulis proposal
e. Menyunting proposal
f. Memperbaiki proposal berdasarkan suntingan
Ceramah, praktik
Mahasiswa mampu menerapkan kriteria penulisan proposal untuk menghasilkan proposal yang bermutu
180 menit

(6)
Mahasiswa mema-hami presentasi ilmiah
a. Pengertian presentasi ilmiah
b. Tata cara dan etika presentasi ilmiah
c. Menyiapkan bahan presentasi ilmiah dengan memanfaatkan multimedia
d. Pelaksanaan presentasi ilmiah
Ceramah, diskusi, praktik
Mahasiswa mampu menyajikan karya ilmiah yang ditulisnya di depan forum sesuai dengan kriteria presentasi yang baik
180 menit

(7)
Mahasiswa memahami berbagai teks pidato
a. Tata cara dan etika berpidato
b. Menulis naskah pidato
c. Menyunting naskah pidato
d. Memperbaiki naskah pidato berdasarkan suntingan
e. Menyampaikan pidato berdasarkan naskah pidato yang telah ditulis
Diskusi, praktik
Mahasiswa mampu menyusun teks pidato dan menyam-paikannya sesuai dengan kriteria teks serta dapat berpidato yang baik
180 menit


Sumber/Referensi

a. Arifin, E.Z. dan Amran Tasai. 1999. Cermat Berbahasa Indonesia: untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademika Pressindo.

b. Moeliono, Anton M. (Penyunting). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudaya-an.

c. Mustakim. 1994. Membina Kemampuan Berbahasa: Panduan ke Arah Kemahiran Berbahasa. Jakarta: Gramedia.

d. Partao, Zainal A.N. dan Tutus Maharani. 2004. Sukses Menggolkan Proposal. Jakarta: Grasindo.

e. Pranowo dkk. 1996. Teknik Menulis Makalah Seminar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

f. Presetya, Darju. 2005. Rahasia Menulis di Media Massa. Yogyakarta: Diglossia.

g. Rakhmat, Jalaluddin. 1999. Retorika Modern. Bandung: Rosda

h. Sugihastuti. 2000. Bahasa Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

i. Sugono, Dendy. 1991. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Priastu.