Minggu, 23 November 2008

PRAKTIK II PRESENTASI MAKALAH

Kamis, 27 November 2008
KUI-A
Pemakalah:
1. Nahrida
2. Rian Surenda
3. Halim Reza
4. Cahyadi
Pemandu: Hendrio
Pencatat:
1. Indra Primanto
2. Muh. Izzuddin

KUI-B
Pemakalah:
1. Aria Muharam
2. Miftanul Arifin
3. Freddy
4. Fuad Imanullah
Pemandu:
Yurisul Fadli
Pencatat:
1. Wahyu Widodo
2. Fajar Septiadi

Jumat, 28 November 2008
KUI-C
Pemakalah:
1. Anwar Fawzan
2. Parman
3. Muammar Husni
4. Muh. Mastur
Pemandu:
M. Iqbal
Pencatat:
1. Maksum
2. Ari Siswanto

MATERI PRESENTASI ILMIAH DAN BERPIDATO

BAGIAN VI
PRESENTASI ILMIAH

1. Pengertian
Presentasi ilmiah merupakan kegiatan yang lazim dilakukan dalam dunia ilmiah. Kegiatan itu berfungsi untuk menyebarkan informasi ilmiah. Karena mahasiswa merupakan intelektual yang berkewajiban menyebarkan ilmu yang dimilikinya, kemahiran untuk melakukan presentasi ilmiah merupakan suatu kebutuhan.
Agar presentasi ilmiah dapat berjalan dengan efektif, ada kiat-kiat yang perlu diterapkan, yakni (1) menarik minat dan perhatian peserta, (2) menjaga agar presentasi tetap fokus pada masalah yang dibahas, dan (3) menjaga etika ketika tampil di depan forum ilmiah.
Untuk menarik minat dan perhatian pada topik/masalah yang dibahas, seorang penyaji dapat menggunakan media yang menarik (media visual seperti gambar dengan warna yang menarik, ilustrasi, dll.), mengetahui latar belakang peserta, dan menjaga suara agar tidak monoton serta terdengar jelas oleh seluruh peserta yang berada di suatu ruangan.
Untuk menjaga agar presentasi tetap fokus pada madalah yang dibahas, penyaji harus menaati bahan yang telah disiapkan dan memberi penjelasan singkat, padat, terhadap butir-butir inti.
Untuk menjaga etika dapat dilakukan dengan cara menghindari hal-hal yang dapat merugikan (menyinggung perasaan) orang lain. Butir-butir rinci tentang etika dan tata cara yang perlu ditaati dalam forum ilmiah akan diuraikan berikut ini.

2. Tata Cara dan Etika Presentasi Ilmiah
Presentasi ilmiah akan berhasil jika penyaji menaati tata cara yang lazim. Pertama, penyaji perlu memberi informasi kepada peserta secara memadai. Informasi tersebut akan dipahami dengan baik jika peserta memperoleh bahan tertulis, baik bahan lengkap maupun bahasan presentasi powerpoint. Jika diperlukan, bahan dapat dilengkapi dengan ilustrasi yang relevan. Apabila bahan ditayangkan, harus dipastikan bahwa semua peserta dapat melihat layar dan dapat membaca tulisan yang disajikan. Kedua, penyaji menyajikan bahan dalam waktu yang tersedia. Untuk itu, penyaji perlu merencanakan penggunaan waktu dan menaati panduan yang diberikan oleh moderator. Ketiga, penyaji menaati etika yang berlaku di forum ilmiah. Hal itu karena forum ilmiah merupakan wahana bagi ilmuwan dan akademisi dari berbagai disiplin ilmu saling asah otak dan hati serta bertukar berbagai informasi akademik, baik sebagai hasil pemikiran maupun hasil penelitian. Dalam forum tersebut ada beberapa peran yang dimainkan oleh aktor yang berbeda, yakni penyaji, pemandu (moderator), notulis, peserta, dan teknisi. Semua pihak wajib melakukan tugasnya dan menjaga agar jalannya presentasi ilmiah dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan.
Etika berkaitan dengan keyakinan dan prinsip mengenai mana yang benar dan mana yang salah serta mana yang patut dan mana yang tidak patut. Satu nilai yang harus dipegang dalammenjaga etika adalah “menjaga perilaku agar tidak merugikan orang lain”. Kerugian mencakup hak atau kesempatan, kehilangan muka, dan tersinggung perasaannya. Hak dalam forum ilmiah meliputi hak berbicara, hak membela dan mempertahankan pendapatnya, serta hak untuk mendapatkan pengakuan. Kehilangan muka dapat terjadi apabila aib atau kekurangan diungkapkan secara vulgar. Sementara itu, apabila seseorang telah melakukan sesuatu yang sangat berharga, ia mempunyai hak untuk mendapatkan pengakuan. Etika dalam forum ilmiah harus dijaga agar tujuan forum dapat tercapai dengan baik.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh penyaji dalam etika adalah kejujuran. Dalam dunia ilmiah, kejujuran merupakan butir etis terpenting. Setiap orang wajib bersikap sangat terbuka dalam segala hal menyangkut informasi yang dsajikan. Jika menyajikan data, penyaji harus secara jujur menyebutkan apakah data itu hasil penelitiannya ataukah diambil dari sumber lain. Jika diambil dari sumber lain, harus disebutkan secara lengkap sesuai dengan kelaziman dunia ilmiah.
Adapun etika yang harus dijaga oleh peserta antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, setiap peserta harus jujur pada diri sendiri. Artinya, dia akan bertanya jika memang tidak tahu, akan mencari klarifikasi apabila masih bingung atau belum yakin, akan mengecek apakah pemahamannya sudah benar ataukah belum, dsb. Selain itu, setiap peserta wajib menghargai pendapat/gagasan orang lain dan hal ini mensyaratkan bahwa dia wajib menyimak apabila ada orang yang berbicara (atau bertanya). Misalnya, ketika orang lain telah mengusulkan gagasan, dia tidak akan berbicara seolah-olah dialah pengusul pertama gagasan tersebut. Ketika pertanyaan telah diajukan oleh peserta lain, dia tidak akan mengulangi pertanyaan itu. Ketika peserta lain telah menyatakan sesuatu dan dia menyetujuinya, dia dapat mengungkapkan dukungannya.
Terkait dengan perilaku bertanya untuk memperoleh klarifikasi atau informasi, satu kewajiban penanya adalah menyimak jawaban dari penyaji. Akan lebih bagus jika penanya menunjukkan apresiasi positif terhadap jawaban yang telah diberikan. Apabila dengan terpaksa penanya meninggalkan ruangan sebelum jawaban diberikan, dia wajib meminta maaf dan meminta izin untuk meninggalkan ruangan.
Jalannya forum ilmiah banyak ditentukan oleh moderator sebagai pemandu. Etika yang harus dijaganya adalah bahwa dia harus adil. Artinya, semua peserta sedapat-dapatnya memperoleh kesempatan yang relatif sama dalam berpartisipasi aktif selama forum berlangsung. Keseimbangan tempat duduk peserta dan kesetaraan gender harus benar-benar dijaga. Demikian juga keseimbangan dalam hal waktu atau jumlah pertanyaan yang boleh diajukan oleh peserta.
Selain adil, seorang moderator juga harus menaati jadwal atau waktu yang telah ditentukan. Pertama, moderator seyogianya tidak terlalu banyak mengambil waktu untuk berkomentar yang tidak fungsional. Kedua, moderator harus mengatur waktu yang digunakan oleh semua pihak, baik penyaji maupun peserta. Oleh sebab itu, moderator harus punya keberanian untuk menginterupsi dengan santun pembicaran seseorang agar taat waktu.
Semua hal yang terungkap selama forum, baik inti uraian penyaji, pertanyaan, maupun jawaban perlu dicatat secara rapi oleh notulis. Hasil catatan yang telah ditata ringkas sebaiknya dicetak dan dibagikan minimal kepada semua orang yang terlibat dalam forum tersebut. Hal ini memberi kesempatan bagi pemilik gagasan/konsep untuk meluruskannya jika ada hal-hal yang kurang tepat.
Teknisi wajib memastikan bahwa peralatan teknologi yang digunakan bekerja dengan baik. Dia harus melakukan cek terakhir sebelum forum dimulai dan secara teratur mengontrol jalannya persidangan dari segi teknologi. Apabila terjadi sesuatu pada teknologi, dia harus secara cepat bertindak menyelamatkan jalannya kegiatan.

3. Menyiapkan Bahan Presentasi Ilmiah dengan Multimedia
Dalam era teknologi informasi, presentasi ilmiah dengan memakai multimedia sudah menjadi kebutuhan karena beberapa alasan. Pertama, presentasi akan menjadi menarik karena penyaji dapat membuat manuver dalam memvariasi teknik penyajian bahan, termasuk melalui animasi. Kedua, penyaji dapat menghemat waktu karena dapat mengoreksi bahan sewaktu-waktu diperlukan. Ketiga, penyaji dapat memberikan penekanan pada butir permasalahan yang dikehendaki secara menarik. Keempat, penyaji sangat dimudahkan karena membawa bahan dalam bentuk flashdisc. Kelima, bahan presentasi dapat sangat ringkas sehingga membantu peserta menangkap esensi bahan yang dibahas. Keenam peserta dapat langsung mengopi file presentasi yang diperlukan.
Agar manfaat multimedia dapat dinikmati, presentasi multimedia perlu disiapkan dengan baik. Dalam menyiapkan presentasi multimedia, langkah-langkah yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut.
1) Tentukan butir-butir terpenting bahan yang dibahas. Penyebutan butir hendaknya tidak boleh terlalu singkat, tetapi juga tidak boleh terlalu elabratif karena elaborasi akan dilakukan secara lisan oleh penyaji.
2) Atur butri-butir tersebut agar alur penyajian runtut dan runut (koheren dan kohesif).
3) Kerangka pikir perlu diungkapkan/disajikan dalam diagram atau bagan alir untuk menunjukkan alur penalarannya.
4) Tuliskan semuanya dalam bingkai power point dengan ukuran huruf atau gambar yang memadai.
5) Pilih rancangan slide yang cocok (ingat, kontras warna dan animasi sangat penting. Namun, jangan sampai bahwa terjadi dekorasi lebih menarik daripada butir bahasan).
6) Uji coba tayang untuk memastikan bahwa semua bahan yang disajikan dalam slide dapat terbaca oleh peserta dalam ruangan yang tersedia.
7) Cetak bahan dalam slide tersebut untuk digunakan sebagai pegangan dalam penyajian.

4. Melaksanakan Presentasi Ilmiah
Presentasi ilmiah pada dasarnya adalah mengomunikasikan bahan ilmiah kepada peserta forum ilmiah. Oleh karena itu, dalam presentasi ilmiah berlaku prinsip-prinsip komunikasi. Beberapa prinsip komunikasi berikut dapat dipertimbangkan.

1) Mengurangi gangguan komunikasi secara antisipatif.
a. Memastikan kecukupan pencahayaan dan ruang gerak.
b. Memperhatikan tingkat kapasitas peserta ketika memilih bahasa dan media.
c. Menghindari kemungkinan multitafsir ungkapan yang dipilih.
d. Berpikir positif tentang peserta.
e. Membuat peserta dihormati dan dihargai.
f. Mempertimbangkan budaya peserta.
g. Bersikap terbuka terhadap perbedaan sikap dan pendapat orang lain.
h. Memastikan bahwa pakaian yang akan dipakai tepat pilihan dari segi situasi formal dan budaya setempat.

2) Memaksimalkan efektivitas dalam proses presentasi.
a. Memastikan bahwa suaranya dapat didengar oleh semua peserta.
b. Memastikan bahwa penyaji dapat melihat semua peserta.
c. Menjadi penyimak/pendengar yang baik jika ada peserta yang bertanya.
d. Memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya.
e. Mendorong peserta untuk aktif terlibat.
f. Menggunakan media yang menarik dan tepat guna.



BAGIAN VII
BERPIDATO

1. Pengantar
Sebagai insan terpelajar, mahasiswa dituntut memiliki kinerja yang memuaskan dalam semua aspek kehidupan, baik di kampus maupun di masyarakat. Apalagi, setelah menyandang gelar sarjana, tuntutan itu menjadi makin kuat. Oleh karena itu, mahasiswa (calon sarjana) wajib berusaha keras agar secara bertahap tuntutan itu dapat dipenuhinya. Selain mampu menulis beragam karya ilmiah dan mempresentasikannya dengan baik, mahasiswa juga dituntut mampu berpidato (apabila diperlukan). Seseorang sering merasa gagap jika diminta secara mendadak untuk menyampaikan suatu pidato. Hal ini mengindikasikan bahwa berpidato membutuhkan kesiapan mental dan teknik berpidato yang memadai. Untuk itu, pengembangan kemampuan berpidato perlu dilakukan agar mahasiswa dapat menunjukkan kualitasnya seagai insan terpelajar.

2. Pengertian dan Tujuan Berpidato
Berpidato merupakan salah satu wujud kegiatan berbahasa lisan. Oleh karena itu, berpidato mementingkan ekspresi gagasan dan penalaran dengan menggunakan bahasa lisan yang didukung oleh aspek-aspek nonkebahasaan (ekspresi wajah, kontak pandang, gerak tangan, dll.). Dengan demikian, berpidato adalah kegiatan menyampaikan gagasan secara lisan dengan menggunakan penalaran yang tepat serta memanfaatkan aspek-aspek non-kebahasaan yang dapat mendukung efisiensi dan efektivitas pengungkapan gagasan kepada orang banyak dalam suatu acara tertentu. Sementara itu, ada tiga tujuan penyajian suatu pidato, yaitu (1) menyampaikan informasi (informatif), (2) meyakinkan dan mempengaruhi sikap pendengar (persuasif), dan (3) menghibur pendengar (rekreatif).

3. Kriteria Pidato yang Baik
Setiap orang yang berpidato pasti berusaha dan berharap agar pidato yang disampaikan dinilai oleh pendengarnya sebagai pidato yang baik. Pidato yang baik ditandai oleh kriteria (1) isinya sesuai dengan kegiatan yang sedang berlangsung, (2) isinya menggugah dan memiliki manfaat bagi pendengar, (3) isinya tidak menimbulkan pertentangan SARA, (4) isinya jelas, benar, objektif, (5) bahasa yang digunakan mudah dipahami, dan (6) disampaikan secara santun, rendah hati, dan bersahabat.

4. Metode Berpidato
Ada empat jenis metode berpidato, yakni (1) serta-merta (impromptu): tidak direncanakan, untuk keperluan atau kebutuhan sesaat, (2) hafalan: direncanakan, teks pidato dipersiapkan sebelumnya, kemudian dihafal kata demi kata, (3) berdasarkan naskah: dipersiapkan, biasanya digunakan pada pertemuan resmi atau dalam media elektronik dan media cetak, dan (4) tanpa naskah (ekstemporan): direncanakan, sebelumnya telah dipersiapkan kerangka pidato.

5. Tata Cara dan Etika Berpidato
Tata cara berpidato merujuk pada langkah-langkah dan urutan untuk memulai, mengembangkan, dan mengakhiri pidato. Sementara itu, etika berpidato merujuk pada nilai-nilai kepatutan yang perlu diperhatikan dan dijunjung tinggi ketika seseorang berpidato. Langkah-langkah dan urutan berpidato secara umum diawali dengan pembukaan, sajian isi, dan penutup. Pembukaan biasanya berisi sapaan kepada pihak-pihak yang diundang atau yang hadir dalam suatu acara. Selain itu, dalam pembukaan juga diucapkan rasa syukur kepada Allah atas nikmat dan karunia-Nya. Selanjutnya, sajian isi merupakan hasil penjabaran gagasan pokok yang akan disampaikan dalam pidato. Sebagai hasil penjabaran gagasan pokok, sajian isi perlu dirinci sesuai dengan waktu yang disediakan. Adapun penutup pidato berisi penegasan kembali gagasan pokok yang telah dipaparkan dan sajian isi. Selain itu, penutup juga berisi harapan dan ucapan terima kasih atas partisipasi semua pihak dalam acara yang sedang berlangsung.
Etika berpidato akan menjadi pegangan bagi siapa saja yang akan berpidato. Nilai-nilai apa saja yang patut diperhatikan ketika berpidato? Ketika berpidato, janganlah menyinggung perasaan orang lain. Sebaliknya, berupaya menghargai dan membangun optimisme bagi pendengarnya. Selain itu, keterbukaan, kejujuran, empati, dan persahabatan perlu diusahakan dalam berpidato.

5. Menulis Naskah Pidato
Menulis naskah pidato perlu dilakukan apabila kegiatan pidato yang akan dilakukan memang telah dipersiapkan sebelumnya. Akan tetapi, jika kegiatan pidato itu dilakukan secara spontan, tentu kita tidak perlu menulis naskah pidato.
Menulis naskah pidato pada hakikatnya adalah menuangkan gagasan ke dalam bentuk bahasa tulis yang siap dilisankan lewat kegiatan berpidato. Pilihan kosa kata, kalimat, dan paragraf dalam menulis naskah pidato sesungguhnya tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan kegiatan menulis untuk menghasilkan naskah yang lain. Situasi resmi atau kurang resmi akan menentukan pilihan kosa kata dalam menulis naskah pidato. Dengan demikian, meskipun sebagai bahasa tulis, naskah pidato itu merupakan bahasa tulis yang akan dilisankan sehingga konteks kelisanan perlu diperhatikan.

6. Menyunting Naskah Pidato
Seperti halnya naskah makalah atau artikel, naskah pidato pun perlu disunting, baik isi, bahasa, maupun penalarannya. Isi naskah pidato perlu dicermati kembali: apakah naskah itu telah sesuai dengan tujuan pidato, calon pendengar, dan kegiatan yang digelar? Selain itu, isinya juga harus dipastikan: apakah benar, representatif, dan mengandung informasi yang relevan dengan konteks pidato? Sementara itu, penyuntingan terhadap bahasa diarahkan pada pilihan kosa kata, kalimat, dan paragraf. Ketepatan pilihan kosa kata, kalimat, dan satuan-satuan gagasan dalam paragraf menjadi perhatian utama dalam kegiatan penyuntingan ini. Penalaran dalam naskah pidato juga perlu disunting untuk memastikan apakah isi dalam naskah pidato telah dikembangkan dengan menggunakan penalaran yang tepat, misalnya dengan pola induktif, deduktif, atau campuran.

7. Menyempurnakan Naskah Pidato Berdasarkan Suntingan
Menyempurnakan naskah pidato setelah disunting, baik oleh penulis sendiri maupun oleh orang lain, perlu dilakukan. Penyempurnaan itu diarahkan kepada aspek isi, bahasa, dan penalarannya sebagaimana yang telah disunting di atas. Penyempurnaan aspek bahasa dilakukan dengan mengganti kosakata yang lebih tepat dan menyempurnakan kalimat dengan memperbaiki struktur dan gagasannya. Sementara itu, penyempurnaan paragraf dilakukan dengan memperbaiki koherensi dan kohesi paragraf. Untuk itu, penambahan kaliamt, penyempurnaan kalimat, dan penghilangan kalimat perlu dilakukan.

8. Menyampaikan Pidato
Menyampaikan pidato berarti melisankan naskah pidato yang telah disiapkan. Akan tetapi, menyampaikan pidato bukan sekadar membacakan naskah pidato di depan hadirin, melainkan juga perlu menghidupkan dan menghangatkan suasana dan menciptakan interaksi yang hangat dengan audiens. Untuk itu, seseorang yang akan menyampaikan pidato harus mampu menganalisis situasi dan memanfaatkan hasil analisisnya itu untuk menghidupkan suasana dalam pidato yang akan dilakukan. Apabila pidato yang disampaikan bukan atas nama orang lain (bukan membacakan naskah pidato atasan atau orang lain), kita masih dapat melakukan penambahan-penambahan sepanjang waktu yang disediakan memadai. Yang terpenting, penambahan itu memperkaya isi pidato, dapat menghangatkan suasana, dan dapat memperjelas isi dalam naskah pidato.
Pada umumnya dalam menyajikan pidato, ada enam langkah yang perlu diperhatikan oleh orang yang berpidato, yaitu (1) menentukan maksud pidato, (2) menjajaki situasi dan latar belakang pendengar, (3) memilih topik (jika diperlukan), (4) mengumpulkan bahan atau materi pidato, (5) menyusun dan mengembangkan kerangka pidato, dan (6) melatih diri secara oral sebelum menyajikan pidato.
Keberhasilan sebuah pidato banyak bergantung pada penguasaan tempo, dinamik, dan warna suara. Tempo dapat diartikan cepat lambatnya pengucapan. Dalam arti arti, tidak berbicara terlalu cepat atau sebaliknya. Dinamik berkaitan dengan keras lembutnya suara. Artinya, suara tidak datar dan perlu diupayakan ada penekanan terhadap suatu kata atau kalimat tertentu. Warna suara adalah kaitan antara kata yang diucapkan dengan suasana, misalnya suasana gembira, sendu, sedih, atau khidmat, sesuai dengan tujuan mata acara yang ditetapkan. Jangan sampai terjadi suasana khidmat menggunakan warna suara dengan suasana gembira atau sebaliknya.
Selain kalimat yang digunakan sesuai dengan kaidah yang berlaku, vokal dan konsonan untuk setiap kata hendaklah diucapkan secara tepat dan wajar serta dapat didengar dengan jelas oleh khalayak sasaran. Dalam hal ini, perlu dihindari agar kata tidak sampai terlesap (hilang), ditambah, atau diubah satu huruf (vokal atau konsonan). Berikut beberapa contoh yang perlu diperhatikan pengucapannya.
ucapkan [ucapken]
positif [positip]
generasi [jenerasi]
instansi [intansi]
frustrasi jangan diucapkan [frustasi]
negosiasi [negoisasi]
balans [balan]
konteks [kontek]
Indonesia [Indonesa]


----- boeditama@yahoo.co.id -----

Kamis, 13 November 2008

PRAKTIK PRESENTASI MAKALAH

KUI-A
Hari, tanggal: Kamis, 20 November 2008
Pemakalah: 1. Yunita Miftakhul Ustantina (makalah Filsafat Umum berjudul Feminisme)
2. Ajeng Prita Hardiyati (Filsafat Islam Strukturalisme)
3. Misbahul Jannah
Moderator: Muh. Izzuddin
Pencatat : 1. M. Abda'i Ratomi
2. Achmad Nurdany

KUI-B
Hari, tanggal: Kamis, 20 November 2008
Pemakalah: 1. Aria Muharam
2. Miftanul Arifin
3. Freddy Ardianto
Moderator: Nidya Alvina
Pencatat : 1. Atika Fatmawati
2. Septiana P.Y.

KUI-C
Hari, tanggal: Jumat, 21 November 2008
Pemakalah: 1. Fuad Hasyim
2. Tisal Sentosa Lenggana
3. Nurul Karimah
Moderator: Ririn Marlina
Pencatat : 1. Anwar Fawzan
2. Muammar Husni Sahab

Senin, 10 November 2008

SEJARAH, KEDUDUKAN, DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

I. Sejarah Bahasa Indonesia
Perkembangan bahasa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari bahasa asalnya atau akar bahasa Indonesia, yakni bahasa Melayu. Oleh karena itu, ketika kita membicarakan bahasa Indonesia, hal yang berkaitan dengan bahasa Melayu menjadi penting untuk dibicarakan.
Pada tahun 1924 Dr. G.F. Pijper, pakar bahasa dari Belanda, menyatakan bahwa bahasa Melayu tampaknya “ditakdirkan” akan menjadi bahasa kebudayaan Indonesia (Usman, 1970:89). Baik dilihat dari sejarahnya, susunannya, maupun dari segi bentuk kalimatnya, bahasa Melayu sangat cocok untuk dijadikan sebagai bahasa kebudayaan di seluruh kepulauan Nusantara.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sejak kapan bahasa Melayu mulai digunakan sebagai alat komunikasi? Menurut Usman (1975:5), bahasa Melayu digunakan sebagai alat komunikasi sejak nenek moyang kita pada abad ke-9 S.M. menginjakkan kaki di salah satu pulau-pulau besar yang lebih dekat ke pantai Asia, yaitu Sumatra atau Kalimantan. Berbeda dengan pendapat Usman, Halim—sebagaimana dikutip oleh Arifin (1995:3)—menyatakan bahwa bahasa Melayu, dalam bentuk bahasa Melayu kuna, baru digunakan sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya sekitar abad ke-7 M. Bukti yang dikemukakan oleh Halim adalah ditemukannya berbagai batu tertulis (prasasti), misalnya Prasasti Kedukan Bukit di Palembang (tahun 683), Prasasti Talang Tuo di Palembang (tahun 684), Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat (tahun 686), dan Prasasti Karang Brahi di antara Jambi dan Sungai Musi (tahun 688). Berbagai prasasti tersebut bertulis Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa Melayu kuna. Selain ditemukan di Pulau Sumatra, beberapa prasasti lain yang menggunakan bahasa Melayu kuna juga ditemukan di Pulau Jawa, misalnya Prasasti Gandasuli (tahun 832) di Jawa Tengah dan Prasasti Bogor (tahun 942) di Bogor, Jawa Barat. Penemuan berbagai prasasti di Pulau Jawa itu membuktikan pula bahwa bahasa Melayu (kuna) tidak saja digunakan sebagai alat komunikasi di Pulau Sumatra, tetapi juga di Pulau Jawa.
Adanya berbagai petunjuk tersebut dapat dinyatakan diperkirakan pula bahwa pada zaman Sriwijaya bahasa Melayu telah digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain sebagai berikut.
1. Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa kebudayaan, yakni sebagai bahasa pada kitab-kitab yang berisi aturan bermasyarakat dan dipakai dalam karya sastra.
2. Bahasa Melayu digunakan sebagai alat komunikasi atau bahasa perhubungan luas (lingua franca), baik antarsuku di kepulauan Nusantara maupun dengan bangsa asing.
3. Bahasa Melayu menjadi bahasa perniagaan, terutama di sepanjang pantai.
4. Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa resmi kerajaan Sriwijaya.
Berkaitan dengan butir 2, bahasa Melayu dapat menjadi bahasa perhubungan luas (lingua franca) karena, menurut Usman (1970:23), lebih sederhana dan lebih demokratis jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain di Nusantara. Di samping itu, letak geografis Melayu (kepulauan-kepulauan yang penduduknya menggunakan bahasa Melayu) sangat strategis sebagai pusat lalu lintas perdagangan dan kebudayaan.
Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan peristiwa yang sangat penting, antara lain, dalam kaitannya dengan pemakaian bahasa Melayu dalam kehidupan bangsa Indonesia. Putusan atau ikrar yang dibacakan pada peristiwa tersebut—yang sejak tahun 1878 selalu diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda dan sekaligus dijadikan sebagai Hari Pemuda—antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Jika dicermati, putusan Kongres Pemuda tersebut berisi tiga butir kebulatan tekad yang saling berkaitan. Butir pertama adalah pengakuan terhadap tanah air yang satu dengan ribuan pulau yang dihubungkan oleh laut sebagai satu kesatuan. Butir kedua adalah pengakuan bahwa manusia Indonesia dengan berbagai suku yang menempati tanah air Indonesia merupakan satu kesatuan yang disebut dengan bangsa Indonesia. Butir ketiga adalah pernyataan kebulatan tekad dari bangsa yang satu yang menempati tanah air yang satu, Indonesia, untuk menjunjung bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia. Makna yang dikandung dalam pernyataan tersebut adalah bukan pengakuan “berbahasa satu” sehingga keberadaan bahasa daerah lain masih diakui yang kedudukannya berada di bawah bahasa Indonesia. Dengan adanya ikrar tersebut, resmilah bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang kedudukannya sebagai bahasa nasional. Pada tanggal 18 Agustus 1945, bahasa Indonesia secara konstitusional—seperti yang tercantum dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36—dikukuhkan sebagai bahasa negara.
Pertanyaan yang menarik, mengapa bahasa Melayu pada tahun 1928 tersebut dijadikan sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional? Mengapa bukan bahasa Jawa yang jumlah penuturnya paling banyak? Mengapa bukan pula bahasa Sunda yang secara geografis lebih dekat pusat pemerintahan?
Bahasa Melayu dipilih oleh para pemuda pada Kongres Pemuda untuk dijadikan sebagai bahasa persatuan—bahasa Indonesia—karena dianggap telah memenuhi beberapa kriteria yang bersifat objektif, yang antara lain meliputi jumlah penutur, luas persebaran, dan peranannya di bidang ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya. Ketiga kriteria tersebut tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan atau saling mendukung.
Pertama, jika hanya diukur dari jumlah penutur “asli”, penutur bahasa Melayu tidak sebanyak penutur bahasa Jawa. Namun, jika jumlah penutur “asli” bahasa Melayu ditambah dengan penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa kedua, jumlah penutur bahasa Melayu menduduki peringkat pertama. Kedua, dalam hal luas persebaran, bahasa Melayu menduduki urutan terdepan, yang secara implisit tampak dari penuturnya yang bukan hanya penutur asli (sebagai bahasa kedua). Sebagai masyarakat maritim dan pedagang, bangsa Melayu banyak melakukan perniagaan dan pelayaran ke berbagai pulau di Nusantara. Konsekuensi logisnya, bahasa mereka pun (bahasa Melayu) dipelajari pula oleh suku bangsa lain. Dengan demikian, karena bahasa Melayu menjadi bahasa perhubungan luas (lingua franca) yang digunakan dalam perniagaan, bahasa Melayu tersebar hampir di seluruh kepulauan Nusantara, terutama di daerah-daerah pantai. Ketiga, masih berkaitan dengan alasan atau kriteria pertama dan kedua, bahasa Melayu juga memiliki peranan yang besar sebagai sarana pengungkap ilmu, budaya, dan sastra. Di samping berniaga, bangsa Melayu juga menyebarkan agama yang dianutnya (Islam). Persebaran agama itu diikuti pula oleh persebaran kepustakaan atau ilmu tentang Islam ke dalam kepustakaan budaya yang dikunjunginya. Misalnya, kepustakaan Islam kejawen sangat dipengaruhi oleh kepustakaan Melayu pada masa Sultan Iskandar Muda dari Pasai.
Di samping ketiga kriteria di atas, terdapat sebuah alasan politis dan sebuah alasan praktis bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa nasional. Alasan politisnya adalah bahasa Melayu bersifat demokratis, tidak mengenal tingkatan berbahasa (tingkat tutur), seperti yang terdapat dalam bahasa Jawa. Dengan sifatnya yang demokratis tersebut sangat cocok digunakan sebagai bahasa “perjuangan”. Karena itu pula, para tokoh pergerakan dari Jawa—terutama yang tergabung dalam Syarikat Islam yang pernah menganjurkan penghapusan ragam krama dalam bahasa Jawa—sangat mendukung dikukuhkannya bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Adapun alasan praktisnya adalah karena bahasa Melayu lebih mudah dipelajari, sistem tata bahasanya lebih sederhana, dan tidak mengenal ragam halus (krama) dan kasar (ngoko) sehingga mempunyai kesanggupan pula sebagai bahasa iptek.
Dengan adanya beberapa alasan tersebut, bahasa Melayu memiliki potensi yang kuat untuk mengikat atau mempersatukan antarsuku yang berada di Nusantara yang memiliki beratus-ratus bahasa daerah. Dalam kenyataannya, berbagai suku di Indonesia tersebut menerima secara suka rela bahasa Melayu dikukuhkan sebagai bahasa bahasa persatuan dan bahasa nasional demi kepentingan pergerakan nasional.

2. Kedudukan Bahasa Indonesia
Pada butir ketiga ikrar Sumpah Pemuda dinyatakan bahwa Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Kata menjunjung mempunyai arti ‘membawa di atas kepala’. Hal itu menunjukkan, seperti telah disinggung di depan, bahwa bahasa Indonesia mempunyai kedudukan di atas bahasa-bahasa daerah. Dengan demikian, Sumpah Pemuda telah menempatkan bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional yang menjadi lambang kebulatan semangat kebangsaan Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara legal konstitusional dikukuhkan sebagai bahasa negara, seperti yang tercantum dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36, yang berbunyi “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Dasar hukum itu memberikan landasan yang kuat dan resmi bagi pemakaian bahasa Indonesia, bukan saja sebagai bahasa nasional, melainkan juga sebagai bahasa resmi kenegaraan.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, bahasa Indonesia mempunyai fungsi yang sangat mendasar dalam konteks berbangsa dan bernegara. Berikut dipaparkan berbagai fungsi yang disandang oleh bahasa Indonesia sesuai dengan kedudukannya.

3. Fungsi Bahasa Indonesia
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia mempunyai fungsi sebagai berikut.
1. Sebagai lambang kebanggaan nasional. Artinya, bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari kebangsaan kita. Dengan bahasa itu bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang dijadikan sebagai pegangan hidup. Atas dasar itu pula bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan untuk memupuk rasa kebanggaan bagi pemakainya.
2. Sebagai lambang jati diri (identitas) nasional. Artinya, bahasa Indonesia dijunjung sejajar dengan bendera dan lambang negara Indonesia. Di dalam melaksanakan fungsi itu, bahasa Indonesia harus mempunyai identitas sendiri sehingga bahasa itu serasi dengan lambang kebangsaan yang lain. Hal itu dapat dicapai apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkan bahasa Indonesia.
3. Sebagai alat pemersatu bangsa. Artinya, dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia yang berbeda latar belakang sosial budaya, suku, agama, dan bahasanya, dapat dipersatukan ke dalam satu kebangsaan Indonesia tanpa harus meninggalkan identitas kesukuan, seperti nilai-nilai sosial budaya lokal dan bahasa daerah masing-masing suku bangsa.
4. Sebagai alat perhubungan antarwarga, antarbudaya, dan antardaerah. Artinya, bahasa Indonesia merupakan sarana komunikasi yang tepat untuk menghubungkan suku-suku yang berbeda bahasa daerahnya.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki fungsi sebagai berikut.
1. Sebagai bahasa resmi kenegaraan atau pemerintahan. Oleh karena itu, dalam situasi formal kenegaraan (upacara kenegaraan, kunjungan kenegaraan, atau sidang kenegaraan), mutlak digunakan bahasa Indonesia.
2. Sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan. Dengan demikian, bahasa Indonesia secara resmi digunakan dari SD hingga perguruan tinggi. Bagi lembaga pendidikan khusus bahasa asing diperkenankan menggunakan pengantar berbahasa asing tersebut. Demikian pula bagi SD kelas 1 sampai dengan kelas tiga di wilayah yang masih kuat pemakai bahasa daerahnya diperkenankan pula untuk menggunakan pengantar berbahasa daerah.
3. Sebagai bahasa resmi dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan.
4. Sebagai bahasa resmi di dalam pembangunan kebudayaan serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sesuai dengan itu, bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan dilakukannya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional sehingga dapat memiliki ciri-ciri atau identitas sendiri.

Minggu, 09 November 2008

Silabus Bahasa Indonesia/KUI Fak. Syariah

Mata Kuliah : Bahasa Indonesia
Program Studi : Keuangan Islam
Fakultas : Syari’ah
Semester : 1
Bobot : 2 SKS
Standar Kompetensi : Mahasiswa mampu mengungkapkan pikiran dan gagasan dalam ragam tulis ataupun lisan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pengampu : Drs. Imam Budi Utomo, M.Hum.

(1)
Kompetensi Dasar Mahasiswa memahami sejarah, kedudukan, dan fungsi bahasa Indonesia
Materi Pokok Sejarah, kedudukan, dan fungsi bahasa Indonesia
Metode Pembelajaran Ceramah, diskusi, tanya jawab
Indikator Mahasiswa mampu menunjukkan pengetahuan yang memadai tentang sejarah, kedudukan, dan fungsi bahasa Indonesia serta menunjukkan kebanggaan mereka terhadap bahasa Indonesia
Alokasi Waktu 90 menit

(2)
Mahasiswa mema-hami berbagai ragam bahasa Indonesia
a. Ragam lisan dan ciri-cirinya
b. Ragam tulis dan ciri-cirinya
c. Ragam bahasa berdasarkan penutur, pemakaian, tingkat pendidikan, dll.
d. Karakteristik bahasa Indonesia ragam ilmiah
Ceramah, diskusi, tanya jawab
Mahasiswa dapat menjelaskan dan membedakan ragam bahasa beserta ciri-cirinya, khususnya ragam ilmiah

(3)
Mahasiswa memahami membaca kritis untuk menulis
a. Membaca dan jenis-jenisnya
b. Membaca kritis ilmiah
c. Membaca kritis tulisan populer
d. Membaca kritis buku ilmiah
e. Mengakses dan memanfaatkan informasi
Ceramah, diskusi, praktik
Mahasiswa mampu membaca kritis berbagai ragam wacana untuk keperluan menulis ilmiah.
180 menit

(4)
Mahasiswa memahami untuk menulis akademik
a. Tulisan akademik dan jenis-jenisnya
b. kriteria karya tulis akademik
c. Langkah-langkah penulisan karya tulis akademik
d. Menulis karya tulis akademik
e. Menyunting karya tulis akademik
f. Memperbaiki karya tulis akademik berdasarkan suntingan
Ceramah, praktik
Mahasiswa mampu menerap-kan kriteria penulisan karya ilmiah dalam menyusun dan menyunting berbagai bentuk karya ilmiah (makalah, artikel, dan laporan)
180 menit

(5)
Mahasiswa memahami untuk menulis proposal
a. Jenis-jenis proposal
b. Kelengkapan proposal
c. Langkah-langkah penulisan proposal
d. Menulis proposal
e. Menyunting proposal
f. Memperbaiki proposal berdasarkan suntingan
Ceramah, praktik
Mahasiswa mampu menerapkan kriteria penulisan proposal untuk menghasilkan proposal yang bermutu
180 menit

(6)
Mahasiswa mema-hami presentasi ilmiah
a. Pengertian presentasi ilmiah
b. Tata cara dan etika presentasi ilmiah
c. Menyiapkan bahan presentasi ilmiah dengan memanfaatkan multimedia
d. Pelaksanaan presentasi ilmiah
Ceramah, diskusi, praktik
Mahasiswa mampu menyajikan karya ilmiah yang ditulisnya di depan forum sesuai dengan kriteria presentasi yang baik
180 menit

(7)
Mahasiswa memahami berbagai teks pidato
a. Tata cara dan etika berpidato
b. Menulis naskah pidato
c. Menyunting naskah pidato
d. Memperbaiki naskah pidato berdasarkan suntingan
e. Menyampaikan pidato berdasarkan naskah pidato yang telah ditulis
Diskusi, praktik
Mahasiswa mampu menyusun teks pidato dan menyam-paikannya sesuai dengan kriteria teks serta dapat berpidato yang baik
180 menit


Sumber/Referensi

a. Arifin, E.Z. dan Amran Tasai. 1999. Cermat Berbahasa Indonesia: untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademika Pressindo.

b. Moeliono, Anton M. (Penyunting). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudaya-an.

c. Mustakim. 1994. Membina Kemampuan Berbahasa: Panduan ke Arah Kemahiran Berbahasa. Jakarta: Gramedia.

d. Partao, Zainal A.N. dan Tutus Maharani. 2004. Sukses Menggolkan Proposal. Jakarta: Grasindo.

e. Pranowo dkk. 1996. Teknik Menulis Makalah Seminar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

f. Presetya, Darju. 2005. Rahasia Menulis di Media Massa. Yogyakarta: Diglossia.

g. Rakhmat, Jalaluddin. 1999. Retorika Modern. Bandung: Rosda

h. Sugihastuti. 2000. Bahasa Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

i. Sugono, Dendy. 1991. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Priastu.

IHWAL PENULISAN KARYA ILMIAH

Umar Sidik
Imam Budi Utomo

1. Pengantar
Menyusun karya ilmiah, apa pun bentuk dan jenisnya, merupakan pekerjaan yang berat sehingga sering dikeluhkan banyak orang. Hal itu karena membuat karya ilmiah terkait dengan nilai keilmuan yang akan dijadikan referensi (acuan) bagi khalayak. Sebuah karya ilmiah juga sekaligus akan menunjukkan jati diri bagi pembuatnya. Di dalam ilmu pengetahuan, karya ilmiah merupakan salah satu sarana dalam rangka pengembangan ilmu. Sarana yang dimaksudkan ialah karya ilmiah sebagai wujud pengungkap berbagai ilmu pengetahuan.
Ketika seseorang akan memulai membuat karya ilmiah beberapa persoalan akan muncul pada benaknya. Misalnya, (a) persoalan apa yang akan diangkat, (b) apakah persoalan itu menarik dan bermanfaat bagi orang lain, dan (c) bagaimana menungkannya ke dalam bentuk tulisan yang menarik, mudah dipahami, dan enak dibaca. Persoalan yang terakhir itu berkaitan dengan yang namanya teknik penulisan karya ilmiah.
Berkaitan dengan ihwal karya ilmiah, perlu dipahami dan dicermati hal-hal berikut, yaitu (a) pengertian dan jenis karya ilmiah, (b) langkah awal penyusunan, (c) teori yang digunakan, (d) metode dan teknik pengumpulan data, (e) metode analisis, (f) unsur kelengkapan (data-data pendukung, (g) kerangka (format) karya ilmiah (laporan penelitian, skripsi, dll.), (h) ragam bahasa yang digunakan, dan (i) teknik penulisannya.
Ihwal teknik penulisan sangat terkait dengan tingkat keterbacaan dan etika penyajian suatu karya ilmiah. Terdapat norma (kaidah atau aturan) yang harus diikuti oleh siapa saja yang akan membuat karya ilmiah. Di dalam penulisan karya ilmiah tidak dapat dilepaskan dengan masalah hak cipta orang lain. Misalnya, ketika memanfaatkan pendapat orang dalam sebuah karya ilmiah, ada aturan yang harus diikuti di dalam pengutipannya.

2. Pengertian dan Jenis Karya Ilmiah
Mengacu pada beberapa pendapat, seperti Natawidjaya (1986), Sudjiman dan Dendy Sugono (1991), Junaiyah, et al.(1991), KBBI (1991), dan Pranowo dkk. (1996). Karya ilmiah atau karangan ilmiah adalah hasil karangan yang penyusunannya didasarkan atas kajian ilmiah. Bentuk karya ilmiah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (a) artikel, (b) makalah, (c) laporan penelitian.

2.1 Artikel
Yang dimaksud dengan artikel ialah karya ilmiah populer berisi ilmu pengetahuan yang menggunakan bahasa umum sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam, misalnya artikel tentang obat-obatan, teknologi. Tulisan ilmiah yang berupa artikel sering disebut juga dengan karya ilmiah populer.

2.2 Makalah
Makalah (paper), yaitu tulisan resmi (formal) tentang suatu hal yang memiliki kriteria ilmiah, baik isi, format, maupun butir pembahasannya, Makalah dapat dibagi dua, yaitu (a) makalah untuk diseminarkan dan atau diterbitkan dan (b) makalah yang merupakan tugas siswa/mahasiswa/ karyasiswa.

2.3 Laporan Penelitian
Yang termasuk laporan penelitian, yaitu (a) karya tulis, (b) skripsi, (c) tesis, (d) disertasi, dan (e) laporan penelitian mandiri atau tim. Masing-masing terdapat karakteristik dan tujuan yang berbeda, di samping ada unsur-unsur kesamaannya. Karya tulis adalah karangan ilmiah yang digunakan sebagai tugas akhir siswa atau tugas seseorang dari sebuah PKL, yang dapat dilakukan oleh mahasiswa D-1, D-2, atau D-3). Skripsi adalah karangan ilmiah yang digunakan sebagai tugas akhir mahasiswa jenjang strata satu (S-1) untuk memperoleh gelar sarjana. Tesis adalah karangan ilmiah yang digunakan sebagai tugas akhir karyasiswa jenjang strata dua (S-2) untuk memperoleh gelar magister. Disertasi merupakan karya ilmiah yang disusun oleh karyasiswa pada jenjang strata tiga (S-3) untuk memperoleh gelar doktor. Laporan ilmiah adalah karangan ilmiah yang berupa laporan yang disusun berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan secara mandiri atau tim/kelompok.

3. Langkah Awal Penyusunan
Di dalam proses penyusunan karya ilmiah, ada beberapa langkah awal yang sering dilakukan orang, misalnya sebagai berikut.
a. Menentukan topik atau tema
b. Menguji kelayakan topik
1) Menarik?, baru, aneh, luar biasa, kontroversial, dsb.
2) Menambah pengetahuan, menambah keterampilan, memecahkan masalah, dsb.
c. Mengidentifikasi ide-ide pokok (tesis, asumsi-asumsi dasar)
d. Mengorganisasikan ide yang akan ditulis
e. Mengembangkan ide pokok (mencari alternatif solusi atas masalah yang dikemukakan)
f. Mengumpulkan bahan (literatur, observasi, wawancara, dsb)
g. Membuat draf kasar
h. Mengembangkan ide ke dalam kalimat/paragraf
i. Penyusunan daan pengeditan

3.1 Penemuan Variabel
Pencarian variabel dilakukan dengan cara melihat atau mencari fenomena yang menarik untuk dikaji. Setelah mendapat hal yang dapat dijadikan masalah untuk dikaji atau diteliti, dicermati masalah yang problematis. Dalam hal ini dapat dikatakan sebagai penumbuhan sikap aktif atau sikap “terbangkit”. Hal tersebut dilakukan melalui media bacaan, diskusi, konsultasi, atau menanyakan kepada ahlinya (pakar). Dikatakan oleh Pranowo dkk. (1996:7) bahwa pencermatan itu dilakukan terhadap segala yang dilihat, didengar, dirasakan terhadap suatu fenomena; atau dengan cara membaca tulisan-tulisan orang lain yang dapat dijadikan sumber permasalahan.
Perlu diketahui bahwa sebelum pencermatan dilakukan, ditentukan lebih dahulu bidang apa yang akan dibahas, misalnya, bidang teknologi informasi, pengelolaan informasi, atau lintas bidang ilmu. Kalau sudah dipilih bidangnya, lalu dikhususkan fokusnya. Misalnya, kita memilih bidang pengelolaan informasi, dapat dikhususkan pada pengolahan, pelayanan jasa informasi, atau software yang digunakan. Kemudian, perlu dipertimbangkan dan direnungkan, apakah masalah yang dipilih itu benar-benar layak ditulis, dengan cara seperti yang disarankan Pranowo dkk. (1996:8) adalah sebagai berikut.
Apakah bahasan itu memiliki kegunaan?
Apakah memiliki kebaruan (permasalahan, teori, atau metodenya)?
Apakah bahasan itu menarik bagi Anda?
Apakah untuk membahas itu Anda tidak kesulitan mendapatkan bahan-bahan bacaan yang dibutuhkan?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu menjadi dasar untuk melangkah pada tahap selanjutnya. Apakah eksplorasi terhadap masalah itu dapat dilanjutkan untuk suatu penelitian ilmiah.

3.2 Perumusan Topik dan Penyusunan Judul
Bila sudah ditemukan hal yang akan dibahas, segeralah merumuskan topik. Secara singkat, perumusan topik dapat dilihat pada bagan berikut.


Variabel penelitian
(hal yang akan dibahas)




Topik



Judul


3.3 Perumusan Masalah Penelitian
Perumusan masalah yang dimaksudkan di sini ialah butir-butir apa saja yang akan menjadi bagian pada pembahasan. Jadi, rumusan masalah penelitian merupakan rincian masalah yang perlu dijawab oleh peneliti. Rumusan masalah dapat berupa kalimat pertanyaan atau pernyataan. Permasalahan selalu menjadi pijakan dalam proses analisis.

4. Kerangka Dasar Karya Ilmiah
Setelah langkah awal dilakukan, disusun kerangka dasar yang digunakan sebagai “ancang-ancang” untuk memulai pengerjaan karya tulis. Selain itu, kerangka itu digunakan sebagai pedoman melakukan penelitian. Kerangka dasar karya ilmiah yang berupa laporan penelitian dapat tersusun sebagai berikut.

1. JUDUL (yang disebut sebagai sampul luar)
2. JUDUL (yang disebut sebagai halaman judul)
3. HALAMAN PENGESAHAN (untuk skripsi)
4. HALAMAN KHUSUS (jika diperlukan)
5. INTISARI (bahasa Indonesia) dan ABSTRAK (bahasa Inggris)
6. KATA PENGANTAR
7. DAFTAR ISI
8. DAFTAR TABEL
9. DAFTAR GAMBAR
10. DAFTAR LAMPIRAN.
Bagian utama pada laporan penelitian terdiri atas beberapa bab dan subbab (sesuai dengan kebutuhan pembahasan) yang tersusun secara berurutan, antara lain, berisi hal-hal sebagai berikut.
1. Pendahuluan
a. Latar Belakang
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan dan Manfaat
d. Hipotesis (jika ada)
e. Sistematika Pembahasan
2. Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori
a. Tinjauan Pustaka
b. Landasan Teori
3. Metode Penelitian
a. Subjek/Objek Penelitian
b. Variabel Penelitian
c. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
d. Metode Analisis
4. Pembahasan/Analisis
Pada bagian atau bab ini terdiri atas beberapa subbab sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Sajikan secara sistematis dengan mangacu pada rumusan masalah.
5. Simpulan Dan Saran
a. Simpulan hasil penelitian (bukan ringkasan)
b. Saran (terkait dengan topik)

Pada bagian akhir skripsi terdiri atas hal-hal sebagai berikut.
1. Daftar Pustaka
2. Lampiran

5. Teori, Metode, Teknik, Populasi, Sampel, dan Cara Penelitian
Secara ringkas pengertian teori, metode, teknik, data, populasi, sampel, dan cara penelitian ialah sebagai berikut.
Teori merupakan prinsip dasar untuk menangani masalah yang akan dibahas. Dapat dikatakan bahwa teori adalah pisau analisi. Prinsip dasar itu digunakan sebagai landasan berpikir atau kerangka pemikiran. Prinsip tersebut menggambarkan langkah dan arah analisis. Jadi, harus disesuaikan dengan dengan topik yang akan dibahas. Misalnya, untuk menangani masalah budaya baca, dapat digunakan teori sosiokultural.
Metode dan teknik merupakan dua istilah yang berdekatan artinya, tetapi menunjukkan dua konsep yang berbeda. Aakan tetapi, kedua hal itu berhubungan secara langsung satu sama lain. Metode adalah cara yang harus dilaksanakan; teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto, 1993:9). Untuk dapat membayangkan konsep metode dan teknik, dapat diandaikan sebagai berikut. Seseorang yang akan membahas tentang sikap pemakai perpustakaan, ia harus melakukan pengumpulan data. Mengumpulkan data itu dibayangkan sebagai metode. Di dalam pengumpulan data yang berupa sikap pemakai perpustakaan dilaksanakan dengan merekam, mencatat, menyadap. Rekam, catat, dan sadap merupakan teknik. Dengan demikian, sebuah metode dimungkinkan terwujud menjadi beberapa teknik. Contoh lain, dalam melaksanakan metode observasi dapat terjabar dengan teknik partisipan (libat-cakap) dan teknik nonpartisipan (sadap, rekam).
Data merupakan bahan untuk objek penelitian. Dalam penentuan data dipertimbangkan (a) kriteria jumlah data, (b) kriteria mutu data (kevalidan data), dan (c) kesesuaian data dengan sifat dan tujuan pembahasan. Populasi merupakan data secara keseluruhan. Sampel merupakan wakil dari data, yaitu data yang mewakili yang diambil dari populasi.
Cara penelitian merupakan uraian tentang tahapan-tahapan yang dilaksanakan dalam mewujudkan sebuah laporan ilmiah, seperti tahap pengumpulan data, penganalisisan data, dan panyajian hasil analisis. Uraian tersebut diuraikan menurut metode yang digunakan; dari awal penentuan sampel serta pembuatan alat ukurnya sampai dengan penyajian laporan penelitian.

6. Bahasa Ragam Ilmiah
Bahasa dalam karya ilmiah merupakan suatu ragam yang disebut sebagai ragam akademik (Sudaryanto, 1996:37--41). Ciri-ciri penting bahasa karya ilmiah yang dirangkum dari pendapat Johanes (1979) dan Sudaryanto (1996) adalah sebagai berikut.
a. Nada tulisan bersifat formal dan objektif.
b. Bahasa yang digunakan bersifat baku.
c. Kata-kata yang digunakan ialah kata yang bermakna denotatif.
d. Hubungan makna antar unsur dalam kalimat bersifat logis dan koheren.
e. Dihindari penggunaan kalimat yang bermakna ganda atau ambigu.
f. Lebih diutamakan penggunaan kalimat pasif karena dalam kalimat pasif peristiwa lebih dikemukakan daripada pelaku perbuatan.
g. Konsisten dalam penggunaan istilah, singkatan, dan tanda-tanda.

Dari sekian ciri bahasa ilmiah dapat ditarik intinya, yaitu bahwa di dalam bahasa karya ilmiah digunakan ragam bahasa tulis yang bersifat jelas, lugas, dan komunikatif (Sudjiman dan Sugono, 1991:3). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan bahasa karya ilmiah, antara lain, adalah sebagai berikut.

6.1 Menghindari pernyataan yang bersifat absolut
Kebenaran dalam suatu karya tidak bersifat mutlak (tidak absolut). Oleh karena itu, bahasa yang digunakan juga dihindarkan dari kemutlakan. Kata yang dicetak miring berikut ini merupakan contoh yang tidak dianjurkan.
Satu-satunya cara yang paling efektif untuk mengatasi masalah itu adalah ……. (dapat diganti dengan: salah satu cara yang efektif dapat ditempuh dengan ……….
Model terbaik untuk menyelenggarakan pelayanan prima adalah …….
Menurunnya minat baca pasti berdampak pada prestasi belajar.

6.2 Menghindari Pernyataan yang Bersifat Ragu-Ragu
Kebenaran tulisan ilmiah dibuktikan dengan logika dan pendekatan ilmiah. Oleh karenanya disajikan dengan memlalui kajian teoretis dan kerangka berpikir yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penulis harus dapat meyakinkan orang lain dengan pernyataan yang tidak ragu-ragu. Contoh yang tidak dianjurkan, antara lain sebagai berikut.
Rendahnya minat baca tampaknya (mungkin) dipengaruhi oleh lingkungan keluarga.
Agaknya (mungkin) anak-anak lebih menyukai bacaan ringan dan bergambar daripada ………..

6.3 Menghindari Istilah Asing yang Sudah Ada Padanannya dalam Bahasa Indonesia
Jangan ragu menggunakan istilah (kosakata) asing yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Karena istilah itu lebih singkat dan mempunyai konotasi makna yang lebih baik. Jika Anda ragu bahwa padanan dalam bahasa Indonesia itu kurang banyak dikenal orang, tambahkan bahasa sumbernya di dalam kurung dengan dicetak miring.
Misalnya:
user pemakai
homepage laman
on-line terhubung
acces akses
data base pangkalan data
in-put data pemasukan data
display peragaan
dubbing sulih suara
hardware perangkat keras
software perangkat lunak

6.4 Menggunakan Kalimat-Kalimat Pendek, Efektif, dan Mudah Dipahami
Ide dalam sebuah kalimat harus jelas. Subjek dan predikatnya jelas dan menggunakan kalimay efektif.
Misalnya:
Ancaman terhadap fungsi perpustakaan yang disebabkan oleh adanya perkembangan media elektronik yang sangat pesat, tentu merisaukan bagi kalangan pustakawan, sebab perpustakaan tidak lagi dijadikan rujukan bagi masyarakat untuk mencari informasi dan menumbuhkan belajar mandiri.

Kalimat itu dapat diefektifkan menjadi
Perkembangan media eletronik dapat mengancam fungsi perpustakaan. Kondisi seperti itu merisaukan kalangan pustakawan, Sebab, perpustakaan tidak lagi dijadikan rujukan bagi masyarakat untuk mencari informasi dan menumbuhkan belajar mandiri.



6.4 Menghindari Kalimat yang Tidak Efektif
Banyak hal yang menyebabkan kalimat itu tidak efektif, misalnya pemakaian konjungsi karena, sehingga, jika dan maka yang tidak tepat, seperti contoh berikut ini.
Karena koleksinya tidak lengkap, sehingga mahasiswa enggan untuk datang di perpustakaan.
Jika sistem pelayanan tidak diperbaiki, maka jangan diharapkan perpustakaan itu dapat maju.

7. Teknik Pengutipan
Di dalam penulisan karya ilmiah, hampir tidak mungkin terhindar dari pengutipan pendapat orang lain. Persoalannya bukan mengapa penulis harus mengutip pendapat atau pernyataan orang lain, tetapi yang paling penting adalah bagaiman cara mengutip atau menyitir pendapat orang lain itu. Beberapa contoh dalam pengutipan adalah sebagai berikut.

Dua acuan atau lebih yang digunakan untuk menyatakan hal yang sama, cantumkanlah nama akhir masing-masing pengarangan, diikuti tahun dan halaman, dan masing-masing acuan dipisahkan dengan titik koma (;).
Misalnya:
Dalam kaitannya dengan menumbuhkembangkan kultur baca (Sidik, 2003:23; Lasa Hs., 1999:12; Zulaikha, 2005:34) mendasarkan pada hal yang sama, yaitu ………

Apabila diperlukan lebih dari acuan pada pengarang dan tahun terbit yang sama, gunakanlah huruf a dan b pada akhir tahun penerbit sebagai pembeda. Akan tetapi, dapat juga terjadi untuk tahun terbit berbeda dengan pernyataan yang sama.
Misalnya:

Lain halnya dengan hal tersebut di atas, Tampubolon (1999a:23) dan kemudian dipertegas kembalai pada sebuah artikel (1999b:12), menyatakan bahwa ………
Senada dengan hal itu, Tampubolon (1999:23) dan kemudian dipertegas kembali pada sebuah artikel (2001:12), menyebutkan bahwa ……….

Mengutip pendapat seseorang yang terdapat pada karya orang lain dapat dilakukan jika sudah terpaksa, yaitu ketika sumber primernya tidak dapat ditemukan.
Misalnya:

“Membiarkan anak-anak menggunakan bahasa tanpa bimbingan yang baik di sekolah akan menimbulkan kekacauan pemakaian bahasa” (Rosidi dalam Halim, 19762:34). Tanda angka dua (2) di belakang tahun terbit untuk menaadakan jilid buku yang dikutip.

Penyitiran dari karya editor, penulisan menggunakan singkatan Ed. dibelakang nama akhir editornya dalam tanda kurung siku.
Misalnya:

Dinyatakan oleh Qolyubi [Ed.] (2003:56) bahwa ……………..

7.1 Catatan Kaki
Dalam penyajian laporan penelitian ilmiah (makalah, skripsi, dsb.) biasanya diperlukan yang lazim disebut catatan kaki. Catatan kaki itu digunakan untuk
a. untuk menunjang fakta, konsep, dan gagasan, atau untuk memberikan informasi tentang sumber data, gagasn, dan lain-lain yang relevan;
b. untuk memberikan penjelasan tambahan tentang suatu masalah yang dikemukakan dalam teks atau untuk menjelaskan definisi istilah secara lebih cermat.

Misalnya:
Jika perpustakaan merupakan representasi dan kelanjutan dari budaya baca dan tulis, pembangunan perpustakaan harus mengiringi pembinaan dan pengembangan budaya baca dan tulis. Akan sangat sia-sia dan absurd bila penyelenggaraan perpustakaan tanpa didahului atau dibarengi dengan pembinaan minat baca1.
Masyarakat membaca yang patut dipahami adalah masyarakat yang tidak sekadar mampu membaca bahan bacaan2, seperti ketika pendidikan belum tersebar luas, tetapi masyarakat mampu mengetahui secara luas dan mendalam cipta, rasa, dan karsa sebagai buah kebudayaan.



_______________
1 Disampaikan oleh Taufik Adnan Amal pada Pelatihan Pustakawan MI dan MTs, tanggal 2 Oktober 2001 di Bandar Lampung. Hal yang diungkapkan itu, kata Taufik, pernah dimuat dalam Harian Kompas 15 November 2000.
2 Banyak umat Islam di Indonesia yang hanya lancar dan rajin membaca Alquran, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Akibatnya apa yang terkandung di dalam ajaran Alquran tidak membekas dan tidak berdampak apa-apa dalam perilaku kehidupannya.
3 Kata eling tidak hanya bermakna ‘ingat’, tetapi penyadaran akan hakikat hidup manusia sebagai makhluk Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA
Effendi, S (Ed.). 1979. Pedoman Penulisan Laporan Penelitian. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Hasnun, Anwar. 2004. Pedoman dan Petunjuk Praktis Karya Tulis: Puisi, Artikel, Makalah, Laporan, Surat Dinas. Yogyakarta: Absolut.
Hermawan, Asep. 2004. Kiat Praktis Menulis Skripsi, Tesis, Disertasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Junaiyah, H.M. et al. 1991. Masalah Bahasa yang Patut Anda Ketahui (1). Jakarta: Departemen Penedidikan dan Kebudayaan.
Mustakim. 1993. Penggunaan Bahasa yang Efektif dalam Karya Tulis (untuk SMTA). Jakarta: Akademika Pressindo.
Natawidjaja, P. Suparman. 1986. Teras Komposisi. Jakarta: Intermasa.
Nurlina, Wiwin Erni Siti. 2000. “Penyusunan Karya Ilmiah” (Materi Penyuluhan Program Diklat Pengayaan Materi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SLTP). Makalah. Yogyakarta: MKSS Kabupaten Sleman.
Pranowo dkk. 1996. Teknik Menulis Makalah Seminar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sabariyanto, Dirgo. 2000. Bahasa Surat Dinas. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
Samad, Daniel. 1997. Dasar-Dasar Meresensi Buku. Jakarta: Grassindo.
Siregar, Ashadi [dan] I Made Suarjana. 1995. Bagaimana Mempertimbangkan Artikel Opini untuk Media Massa. Yogyakarta: Kanisius.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sudjiman, Panuti dan Dendy Sugono. 1991. Petunjuk Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: Kelompok 24 Pengajar Bahasa Indonesia.
Sugihastuti. 2002. Bahasa Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
The Liang Gie. 1995. Pengantar Dunia Karang-Mengarang. Yogyakarta: Liberty.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wibowo, Wahyu. 2003. 6 Langkah Jitu agar Tulisan Anda Makin Hidup dan Enak Dibaca. Jakarta: Gramedia.
Widyamartaya, Al [dan] Veronica Sudiati. 1997. Dasar-Dasar Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Grassindo.
Jelas berarti bahasa yang digunakan memperlihatkan secara jelas unsur-unsur kalimat, yaitu bagian mana yang merupakan subjek, predikat, objek, dan keterangan sehingga setiap kalimat yang terdapat di dalam karya ilmiah itu memenuhi persyaratan.

Lugas berarti bahasa yang digunakan tidak menimbulkan salah tafsir ganda. Bentuk dan pilihan kata serta susunan kalimat kalimat bahasa karya ilmiah hanya memungkinkan satu tafsiran, yaitu tafsiran yang sesuai dengan maksud penulis.

Komunikatif berarti apa yang ditangkap pembaca dari wacana yang disajikan sama dengan apa yang dimaksud penulisnya. Hali itu terlaksana jika wacana yang disajikan bersifat logis dan bersistem. Logis yaitu memperlihatkan hubungan yang masuk akal. Bersistem yaitu uraian yang disajikan menunjukkan urutan yang mencerminkan hubungan yang teratur, misalnya ketepatan penggunaan konjungsi.












(a)
KERANGKA LAPORAN PENELITIAN

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR SINGKATAN
DAFTAR LAMBANG DAN TANDA (kalau ada)
DAFTAR BAGAN DAN TABEL
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III KERANGKA TEORI
BAB IV METODE, TEKNIK, DAN CARA PENELITIAN
BAB V PEMBAHASAN / ANALISIS
BAB VI PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
















KERANGKA LAPORAN PENELITIAN
(a1)
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR SINGKATAN
DAFTAR LAMBANG DAN TANDA (kalau ada)
DAFTAR BAGAN DAN TABEL
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Permasalahan
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Lingkup Penelitian
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.5 Sistematika Penyajian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 (ttg buku-buku umum yang terkait)
2.2 (ttg buku-buku khusus yang terkait)

BAB III KERANGKA TEORI
2.1 (teori yg sifatnya mendasar)
2.2 (konsep-konsep teori secara langsung diterapkan)

BAB IV METODE, TEKNIK, DAN CARA PENELITIAN
(disesuaikan dengan topik / masalah yang dibahas)

BAB V PEMBAHASAN / ANALISIS
(rincian pembahasan sesuai masalah yang dikaji dan ruang lingkupnya)

BAB VI PENUTUP
(dapat berisi: kesimpulan, rekapitulasi hasil analisis, problematika yang tidak dapat ditangan dalam penelitian, saran-saran penelitian lanjutan)
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
(dapat berisi: daftar klasifikasi data, gambar dan foto, daftar informan, blangko kuesioner, dll)
(b)

(b1)
KERANGKA LAPORAN PENELITIAN
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Permasalahan
1.2 Tinjauan Pustaka
1.3 Rumusan Masalah
1.3 Lingkup Penelitian
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.5 Sistematika Penyajian

BAB II TEORI, METODE, DAN CARA PENELITIAN
2.1 Kerangka Teori/ Landasan Teori
2.1.1 …
2.1.2 …
2.1.3 Hipotesis

2.2 Metode dan Teknik
2.2.1 Metode dan Teknik Penelitian
2.2.1.1 Pengumpulan Data
2.2.1.2 Penganalisisan Data
2.2.1.3 Penyajian Hasil Analisis
2.2.2 Cara Penelitian

BAB III PEMBAHASAN / ANALISIS
2.1
2.2
(… tergantung luas sempitnya masalah. Penomoran berdigit)

BAB IV PENUTUP
4.1 Simpulan
4.2 Problematika
4.3 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN


Contoh Penyusunan Topik dan Judul

1. INDUK TOPIK
Bidang Pengajaran

2. TOPIK UMUM (a)
Bidang Pengajaran IPA

TOPIK UMUM(b)
1) Cara Mengajar IPA
2) Pengajar/ Guru IPA
3) Kemampuan Siswa dalam Pengajaran IPA
4) Materi Pengajaran IPA

3. TOPIK KHUSUS
(ambil spesifikasi dari salah satu topik umum (b))
Pengajaran IPA pada Siswa SMU

4. MENYUSUN JUDUL
(dari topik khusus dapat disusun judul-judul) misal sbb:
1)
2)
3)
(dipilih judul)

5. MERUMUSKAN MASALAH PENELITIAN
(dari sebuah judul, secara kasar dapat disusun masalah yang akan dijawab dalam penelitian) sbb:
a.
b.
c.







contoh: Kata Pengantar

KATA PENGANTAR

- Kapaital
- Tanpa garis bawah
- Tidak berspasi

Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah SWT, akhirnya karya tulis (makalah/ skripsi/tesis/dll) ini dapat terwujud. Adapun judul penelitian yang tersusun sebagai karya tulis ini ialah “…..(misalnya, Pembelajaran Bahasa secara Efektif Siswa SLTP di Kabupaten Purworejo: Sebuah Studi Kasus)…”.
Karya tulis merupakan salah tugas akhir pada…(jenjang S2/atau apa)… yang dilaksanakan pada tahun… dan sebagai prasyarat untuk…(memperoleh gelar…/ memperoleh angka kredit dalam…)….
Penyusun menyadari bahwa terwujudnya karya tulis ini atas bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penyusun ingin menyampaikan terima kasih kepada
1. Drs….., selaku………………………………….;
2. ………, ………………………………………….;
3. ………, ………………………………………….;
Penutup…………………………………………………......................................................................................................................................... ..................................................................................


Yogyakarta, 10 November 2008
Penyusun,


Bunga Citra Lestari
NIM …..